GARUT, JABARBICARA.COM — Akhir-akhir ini publik Garut dihebohkan oleh informasi yang mencuat melalui Podcast Garut 60 Detik. Dalam podcast tersebut, Risha Salsa, salah satu penerima manfaat mengungkap pengalaman yang menyedihkan, dirinya tetap harus membayar biaya kuliah sebesar Rp2.300.000, meskipun telah terdaftar sebagai penerima Beasiswa Satu Desa Satu Sarjana dari pemerintah Kabupaten Garut.
Program yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi pemerataan pendidikan ternyata tidak seindah narasi kampanyenya. Sebagian besar masyarakat memahami istilah Satu Desa Satu Sarjana sebagai jaminan biaya kuliah penuh hingga lulus. Bahkan, dalam proses sosialisasi awal, penerima disebut hanya perlu memikirkan biaya hidup dan tempat tinggal. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa terdapat biaya kuliah tambahan yang tidak pernah diinformasikan secara transparan.
Kekerasan Struktural dalam Sistem Beasiswa
Dalam perspektif Johan Galtung, kondisi ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan struktural, situasi ketika sebuah sistem secara tidak langsung merugikan pihak tertentu karena desain kebijakan yang timpang atau komunikasi yang menyesatkan.
Dalam kasus ini, mahasiswa sebagai penerima manfaat menjadi korban dari ketidakjelasan regulasi serta ketidaksinkronan antara narasi pemerintah, kampus, dan dokumen resmi.
Temuan Regulasi yang Tidak Disosialisasikan dengan Baik
Berdasarkan Salinan Peraturan Bupati Garut No. 39 Tahun 2025, BAB III Besaran Bantuan Pendidikan Tinggi Pasal 6 huruf (a), ditegaskan bahwa:
Program ini bukan beasiswa penuh.
Pemerintah hanya menyediakan bantuan sekitar Rp4.000.000 per semester, bukan pendanaan total seluruh biaya kuliah.
Fakta regulatif ini tidak pernah disampaikan secara utuh kepada publik maupun calon penerima. Akibatnya, terjadi mismatch antara persepsi masyarakat dan realitas kebijakan.
Masyarakat percaya bahwa pemerintah menjamin seluruh biaya studi hingga memperoleh gelar sarjana, sementara pada tingkat implementasi, mahasiswa tetap diwajibkan membayar sejumlah biaya kampus.
Dampak Sosial dari Misinformasi Kebijakan
Ketidakjelasan informasi ini telah menimbulkan:
- Kekecewaan dan tekanan finansial bagi mahasiswa penerima.
- Terganggunya kepercayaan publik terhadap program pemerintah daerah.
- Potensi ketimpangan akses, mengingat beasiswa hanya bekerja sama dengan kampus tertentu sehingga membatasi mobilitas pendidikan pemuda Garut.
Situasi ini merupakan bentuk kegagalan komunikasi publik yang seharusnya menjadi bagian integral dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
PERNYATAAN SIKAP
PERMATA INTAN GARUT
Berdasarkan temuan dan pertimbangan tersebut, dengan ini kami menyatakan:
- Menyesalkan minimnya transparansi dan sosialisasi terkait besaran bantuan, mekanisme pembayaran, dan kewajiban mahasiswa penerima.
- Mendesak Pemerintah Kabupaten Garut untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kerja sama dengan perguruan tinggi mitra, termasuk kejelasan komponen biaya yang ditanggung pemerintah dan yang dibebankan kepada mahasiswa.
- Meminta Pemkab Garut membuka data publik terkait alur anggaran, MoU dengan kampus, serta skema bantuan secara rinci agar masyarakat tidak kembali menjadi korban misinformasi.
- Menuntut adanya revisi kebijakan komunikasi publik, khususnya pada penggunaan istilah “Satu Desa Satu Sarjana”, karena telah menimbulkan ekspektasi yang tidak sesuai dengan regulasi.
- Mendorong adanya mekanisme pengaduan yang mudah diakses oleh mahasiswa penerima manfaat dan masyarakat luas.
- Mengajak seluruh elemen pemuda dan organisasi daerah untuk bersama-sama mengawal transparansi pendidikan di Kabupaten Garut.
Penutup
Pendidikan adalah hak dasar masyarakat dan fondasi pembangunan daerah. Karena itu, setiap kebijakan yang berkaitan dengan masa depan pemuda Garut harus dirumuskan secara jujur, transparan, dan bebas dari misinformasi. Permata Intan Garut akan terus mengawal isu ini demi terwujudnya akses pendidikan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh anak muda Garut. [JB]







