Oleh: Dadan Nugraha, S.H.
Pemerhati Hukum & Kebijakan Publik
Dalam setiap momentum peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, bangsa ini kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah negara telah sungguh-sungguh menempatkan integritas sebagai fondasi penyelenggaraan kekuasaan, ataukah integritas hanya menjadi slogan seremonial yang tidak pernah mengakar?
Korupsi, dalam realitasnya, bukan sekadar tindakan yang merugikan keuangan negara. Ia adalah fenomena struktural yang merusak relasi antara warga negara dan negara, menghancurkan legitimasi pemerintahan, dan menciptakan jurang ketidakadilan yang semakin dalam.
Dalam banyak kasus, korupsi bahkan menjadi bentuk silent violence terhadap rakyat: kejahatan yang tidak berdarah, tetapi berdampak memiskinkan generasi yang belum lahir.
Korupsi sebagai Pelanggaran Konstitusi
Dalam perspektif konstitusional, korupsi adalah pelanggaran terhadap asas dasar negara hukum. Ketika kekuasaan menyimpang, prinsip equality before the law menjadi retorika kosong.
Kerangka hukum yang kita miliki — mulai dari UU Tipikor, penguatan KPK, hingga regulasi administrasi publik — sebenarnya memadai. Namun efektivitasnya selalu ditentukan oleh kemauan politik dan konsistensi penegakan hukum.
Korupsi tidak tumbuh karena hukum lemah, tetapi karena komitmen untuk menjalankan hukum itu yang melemah.
-Perspektif Ilmiah-Hukum: Negara, Moral, dan Kekuasaan
Dalam kajian hukum publik, korupsi merupakan pertemuan antara:
penyalahgunaan kewenangan, absennya kontrol sosial, dan insentif politik yang tidak sehat.
Teori deterrence menyatakan bahwa seseorang akan berhenti melakukan korupsi jika risiko hukum lebih besar dari keuntungan. Namun sosiologi kekuasaan menunjukkan bahwa di lingkungan tertentu, budaya permisif sering kali lebih kuat daripada aturan formal.
Di sinilah tantangan fundamental kita: membangun kultur integritas, bukan sekadar menambah pasal pidana.
Negara Bersih: Antara Sistem dan Etika
Pemberantasan korupsi tidak mungkin efektif tanpa dua hal:
1. penguatan sistem, dan
2. kecerdasan moral dalam birokrasi.
Digitalisasi anggaran, standar akuntabilitas, transparansi pengadaan, mekanisme whistleblowing, hingga keterbukaan informasi publik adalah instrumen yang wajib diperkuat. Tetapi tanpa integritas pribadi penyelenggara negara, semua itu hanya arsitektur tanpa jiwa.
Negara bersih bukan sekadar tujuan, melainkan konsekuensi logis dari negara hukum.
Ketika penyelenggara negara gagal menjaga integritas, yang runtuh bukan hanya sistem, tetapi kepercayaan rakyat.
Partisipasi Publik: Pilar Demokrasi yang Sering Diremehkan
Perubahan besar tidak pernah lahir dari elite semata.
Partisipasi masyarakat — dalam mengawasi anggaran, melaporkan penyimpangan, dan menuntut keterbukaan — adalah elemen yang menentukan kualitas demokrasi.
UU Keterbukaan Informasi Publik dan mekanisme pelaporan dalam UU Perlindungan Saksi memberi legitimasi kuat bagi publik untuk terlibat.
Masyarakat bukan hanya penonton; mereka adalah penjaga moral republik.
Di tengah kompleksitas birokrasi modern, suara warga sering menjadi benteng terakhir melawan pengabaian dan penyimpangan.
Refleksi: Integritas adalah Warisan untuk Generasi Mendatang
Korupsi menghancurkan tatanan keadilan, melemahkan kapasitas negara, dan mendistorsi arah pembangunan.
Bangsa yang toleran terhadap korupsi sedang mewariskan krisis kepada anak cucunya.
Karena itu, melawan korupsi adalah bentuk tertinggi dari cinta tanah air.
Ia menuntut keberanian, ketegasan moral, dan keyakinan bahwa republik ini layak diperjuangkan dengan cara yang benar.
Ucapan Resmi Hari Antikorupsi Sedunia
“Selamat Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2025.
Mari kita tegakkan integritas sebagai pondasi bangsa, menjaga republik dari penyimpangan kekuasaan, dan memastikan bahwa keadilan bukan hanya cita-cita, tetapi kenyataan bagi seluruh rakyat Indonesia.” [JB]


