Site icon JABARBICARA.COM

Hidup di Ujung Pacul: Ribuan Jiwa Terancam di Balik Dilema Penambangan Liar Gunung Guntur

GARUT. JABARBICARA.COM – Tragedi tewasnya seorang penambang liar pekan lalu di Gunung Guntur kembali membuka mata akan rumitnya dilema penambangan ilegal di kawasan ini. Kondisi ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga persoalan sosial-ekonomi yang menghimpit ribuan jiwa.

Dadan Nugraha, seorang Advokat dan pemerhati kebijakan publik, turut hadir dalam pertemuan “Fase Empathizing” yang menampung keluh kesah para perwakilan penambang, supir, dan pedagang di Gunung Guntur. Ia menyoroti bagaimana penambangan liar ini telah menjadi sumber penghidupan utama bagi lebih dari 10.000 jiwa, jika memperhitungkan penambang, pelaku usaha pendukung, dan anggota keluarga mereka.

“Ini bukan sekadar masalah penegakan hukum, tapi juga urusan perut. Ada hak fundamental masyarakat untuk hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak, yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) tentang hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta Pasal 28D ayat (1) tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan Pasal 28H ayat (1) tentang hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” tegas Dadan, Rabu (04/06/2025).

“Masyarakat ini, dari berbagai kecamatan di Garut, terpaksa menambang karena tidak ada alternatif penghidupan lain yang menjamin kebutuhan dasar mereka. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memberdayakan warganya, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terutama terkait hak untuk hidup, hak atas pekerjaan, dan hak atas kesejahteraan.”

Penambangan pasir di Gunung Guntur, yang dulunya legal hingga 2017, kini marak secara ilegal karena mudahnya akses dan rendahnya kebutuhan keterampilan. Ironisnya, permintaan pasir berkualitas tinggi dari Gunung Guntur, termasuk untuk proyek infrastruktur APBD Kabupaten Garut, justru mendorong aktivitas ilegal ini terus berlanjut.
“Ada paradoks di sini. Di satu sisi, pemerintah melarang penambangan ilegal berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang jelas-jelas mengatur larangan penambangan tanpa izin dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun dan denda Rp100 miliar. Di sisi lain, proyek pembangunan daerah membutuhkan pasir dari Gunung Guntur karena kualitasnya yang superior dan harga lebih murah,” papar Dadan. “Implementasi UU Minerba ini masih sangat lemah di lapangan. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang konsistensi kebijakan dan penegakan hukum.”

Dadan juga menyinggung lemahnya implementasi UU Minerba ini.. Menurutnya, keterbatasan personel, dugaan korupsi, dan tekanan sosial dari ribuan pekerja membuat penegakan hukum menjadi sulit. “Pemerintah sebenarnya telah berupaya menekan aktivitas ini, seperti yang dilakukan BKSDA Jawa Barat bersama aparat gabungan pada tahun 2023. Namun, upaya ini belum efektif karena belum menyentuh akar permasalahan sosial-ekonomi yang mendalam,” imbuhnya.

Solusi Berkelanjutan Melalui Kolaborasi dan Program Terukur yang Menjamin Hak Hidup Orang Banyak
Meski dihadapkan pada tantangan besar, Dadan melihat titik terang dari pertemuan ini. Terbentuknya Forum Komunikasi Antaraktor Lapangan menjadi harapan baru untuk mencari solusi yang seimbang antara ekologi dan ekonomi, serta menjamin hak hidup orang banyak.

“Ini adalah langkah awal yang menjanjikan,” ujarnya.
“Mayoritas penambang menyatakan siap beralih profesi jika ada alternatif konkret yang menjamin kebutuhan harian mereka. Program Alih Profesi, Alih Komoditi, Alih Lokasi (A3) yang selama ini hanya wacana, kini harus direalisasikan dengan rencana aksi yang terukur, didasarkan pada prinsip hak untuk diberdayakan oleh negara sebagaimana termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan.”

Forum Komunikasi ini merancang rencana aksi lima tahun (2025–2030) untuk mengalihkan penambang ke sektor pariwisata, pertanian organik, atau industri kreatif, lengkap dengan pelatihan vokasi dan pendampingan teknis. Dadan menegaskan bahwa potensi geowisata Gunung Guntur sangat besar untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata berbasis geotermal dan budaya lokal, selaras dengan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Garut 2021–2026.

“Gunung Guntur punya potensi besar. Kita bisa libatkan penambang sebagai pemandu wisata atau pelaku UMKM pariwisata, menciptakan aktivitas ekonomi baru yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, selaras dengan prinsip Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan dan Sustainable Development Goals (SDGs), serta Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2022 tentang Pemulihan Kerusakan Lingkungan di Sub DAS Cimanuk Hulu,” jelas Dadan. “Ini adalah wujud dari komitmen negara untuk melindungi hak lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi seluruh warga.”

Sinergi Multipihak Menjadi Kunci Keberhasilan dan Pemenuhan Hak Rakyat
Untuk mewujudkan visi ini, Dadan menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. “Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran dari APBD untuk pelatihan vokasi dan infrastruktur pariwisata, sebagai bentuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat untuk diberdayakan. Swasta bisa berinvestasi dalam pengembangan destinasi wisata dan teknologi hijau. Dan masyarakat harus aktif berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam melalui sistem koperasi,” pungkasnya.

Dengan dukungan mekanisme monitoring dari Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2022, Forum Komunikasi optimis dapat memantau progres program A3 setiap tahun. Targetnya, pada 2030, penambangan liar di Gunung Guntur dapat dihentikan sepenuhnya, digantikan oleh aktivitas ekonomi berbasis wisata yang berkelanjutan, sekaligus menjaga fungsi ekosistem kawasan sebagai bagian dari Sub DAS Cimanuk Hulu.
“Ini adalah cermin dari dilema klasik antara ekonomi dan ekologi.

Namun, dengan komitmen bersama, dan dengan berpegang pada Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang menjamin hak asasi manusia, hak untuk diberdayakan, dan hak hidup orang banyak, Garut bisa menjadi contoh harmonisasi antara keduanya di Jawa Barat. Ini bukan hanya tentang penegakan hukum, tapi tentang bagaimana negara hadir untuk menjamin kesejahteraan dan keberlanjutan hidup warganya,” tutup Dadan Nugraha. [JB]

Exit mobile version