JAKARTA, JABARBICARA.COM – Guna memperkuat partisipasi publik dalam proses reformasi Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan berbagai elemen masyarakat sipil. Acara yang berlangsung di Jakarta Selatan pada Jum’at, 3 Oktober 2025. FGD ini merupakan rangkaian kegiatan Kompolnas untuk mendengarkan dan mengumpulkan saran dan masukan terkait agenda reformasi Polri dari luar kepolisian.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dan LSM terkemuka di Indonesia. Tercatat perwakilan dari Kontras, YLBHI, Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Wahid Foundation, Indonesian Police Watch (IPW), HRWG, ICJR, Elsam, LBH Pers, dan Lab 45 hadir untuk menyampaikan pandangan mereka.
Anggota Kompolnas, Dr. Supardi Hamid, M.Si., yang juga menjadi Ketua Tim Analisis Reformasi Polri Kompolnas menegaskan arti penting forum ini.
“Langkah ini merupakan upaya dari Kompolnas untuk memperluas ruang partisipasi publik sekaligus menghimpun masukan strategis dari berbagai elemen masyarakat. Kehadiran organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat memperkaya perspektif dalam merumuskan arah kebijakan reformasi Polri ke depan, sehingga lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Dalam diskusi yang berlangsung dinamis dan terbuka, para peserta menyampaikan sejumlah pokok pemikiran mendasar untuk percepatan reformasi Polri. Isu pertama yang mengemuka adalah pentingnya menjauhkan institusi Polri dari segala bentuk politisasi dan intervensi kepentingan politik praktis, guna menjaga netralitas dan profesionalitasnya.
Selain itu, para peserta juga mendorong adanya reposisi kedudukan Polri dalam struktur ketatanegaraan. Isu mendesak lainnya yang banyak mendapat sorotan adalah budaya atau kultur kekerasan yang dianggap masih kuat mengakar dalam beberapa tindakan aparat, yang menuntut perubahan paradigma dan pendidikan yang lebih humanis.
Tidak kalah penting, desakan untuk penguatan mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal, juga menjadi suara bersama. Dalam hal ini, peran Kompolnas sebagai pengawas eksternal diharapkan dapat lebih diperkuat. Poin strategis lain yang disampaikan adalah perlunya penguatan gender mainstreaming dan evaluasi terhadap kewenangan Polri.
Di tengah pembahasan agenda reformasi tersebut, sejumlah elemen secara khusus menyampaikan desakan agar Polri membebaskan para aktivis yang masih ditahan. Desakan ini menekankan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati.
Sementara itu, Anggota Kompolnas lainnya, Gufron S.H.I., S.Hub.,Int., menanggapi berbagai kritik, saran, dan masukan tersebut menyatakan bahwa FGD ini adalah bagian dari proses mendengar secara aktif.
“Kami di Kompolnas tidak bisa bekerja dalam ruang hampa. Kritik dan masukan dari teman-teman NGO ini adalah cermin untuk melihat kekurangan yang mungkin tidak terlihat dari dalam. Semua catatan dan tuntutan yang disampaikan hari ini akan kami telusuri dan menjadi bahan pertimbangan dalam setiap rekomendasi kebijakan yang kami susun,” jelas Gufron.
“Dengan ditampungnya berbagai aspirasi kritis ini, FGD diharapkan tidak hanya menjadi acara seremonial, melainkan menjadi batu pijakan nyata bagi langkah-langkah strategis Kompolnas ke depan. Rekomendasi yang lahir dari diskusi ini diharapkan dapat mendorong reformasi & transformasi Polri yang lebih akuntabel, profesional, dan dekat dengan perlindungan hak-hak masyarakat,” utup Gufron. [JB]