GARUT, JABARBICARA.COM — GIPS Garut indeks perubahan Strategis. Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Garut kembali menuai sorotan tajam. Lembaga yang mestinya menegakkan Peraturan Daerah (Perda) justru dinilai tidak menjalankan fungsi pengawasan dan penertiban terhadap proyek pembangunan yang disinyalir bermasalah di Jalan Otto Iskandardinata No. 66A, Desa Langensari, Kecamatan Tarogong Kaler.
Lokasi yang dikenal publik sebagai tanah wakaf untuk pendidikan Islam Yayasan Baitul Hikmah Al-Ma’muni (YBHM) kini tengah berdiri bangunan bertembok tinggi yang disebut-sebut diduga akan menjadi pertokoan modern “Yoma”. Namun, menurut masyarakat sekitar dan para tokoh agama, pembangunan itu dilakukan tanpa kejelasan izin dan transparansi status tanah.
Diamnya Satpol PP Jadi Sorotan
Situasi ini memicu kemarahan warga, santri, dan tokoh masyarakat sekitar. Mereka mempertanyakan diamnya Satpol PP Garut, yang dianggap lamban bahkan abai terhadap dugaan pelanggaran tata ruang dan pelanggaran atas amanah wakaf.
“Satpol PP seolah hanya tegas terhadap pedagang kecil dan papan reklame, tapi membisu ketika ada pelanggaran besar yang menyentuh kepentingan ekonomi,” kata Ade Sudrajat, Ketua Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), kepada wartawan, Sabtu(1/11/2025).
Ade menegaskan, GIPS telah mengajukan permintaan audit resmi menelusuri keabsahan perizinan dan status tanah. Ia menilai, diamnya Satpol PP adalah indikasi lemahnya sistem penegakan Perda di tingkat daerah.
Bangunan Komersial di Zona Pendidikan, Berdasarkan hasil penelusuran GIPS, pembangunan tersebut belum jelas memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) — dua dokumen penting yang wajib ada sebelum konstruksi dimulai.
Selain itu, berdasarkan Perda RTRW Kabupaten Garut No. 6 Tahun 2019, kawasan di sekitar Jalan Otto Iskandardinata itu tergolong zona pendidikan dan sosial-keagamaan, bukan zona perdagangan.
“Tanah itu sudah puluhan tahun difungsikan untuk pendidikan Islam. Tidak pantas kalau kini dijadikan tempat bisnis. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal moral,” ujar Enggah Yusup, Kepala SMA YBHM yang menjadi saksi sejarah berdirinya lembaga pendidikan di lahan tersebut sejak 1976.
Tugas Satpol PP: Tegas, Bukan Seremonial, Dalam konteks hukum, Satpol PP memiliki kewajiban tegas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Mereka bertugas menegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah, termasuk menghentikan kegiatan pembangunan ilegal, melakukan penyegelan, hingga mendorong tindakan hukum administratif.
Namun, hingga berita ini diturunkan, tidak ada langkah konkret dari Satpol PP Garut, baik dalam bentuk teguran, segel, maupun penghentian sementara kegiatan pembangunan.
“Kalau lembaga penegak Perda diam terhadap pelanggaran, maka wibawa hukum daerah hanya tinggal slogan,” tambah Ade Sudrajat.
Desakan Evaluasi dan Audit
GIPS meminta agar Bupati Garut melakukan evaluasi total terhadap kinerja Satpol PP, terutama dalam hal keberanian bertindak dan koordinasi dengan instansi teknis seperti DPMPTSP dan PUPR. Mereka juga mendesak dilakukan audit investigatif terhadap proses sertifikasi tanah wakaf yang kini berubah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama pribadi.
“Kami ingin kejelasan, apakah pemerintah daerah benar-benar menegakkan Perda atau hanya menegakkan kepentingan,” tegas Ade.
Refleksi: Ketika Penegakan Perda Dipertaruhkan
Kasus ini menjadi potret buram penegakan hukum daerah. Di satu sisi, masyarakat menunjukkan keberanian mempertahankan amanah wakaf; di sisi lain, aparat penegak Perda tampak kehilangan nyali menghadapi pelanggaran yang diduga melibatkan kepentingan kuat.
Jika ketegasan Satpol PP terus absen, maka Perda hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa makna moral dan sosial.
Dan yang paling ironis — hukum lokal menjadi tumpul di hadapan uang dan kekuasaan. [JB]

