GARUT, JABARBICARA.COM — Kisruh soal kuorum dalam Sidang Paripurna DPRD Garut pekan lalu kembali menyeret perhatian publik pada persoalan lama: rapuhnya fondasi legislatif di daerah. Di balik angka absensi yang tercatat 40 orang, ruang sidang hanya memperlihatkan kehadiran 17 anggota. Dan ketika palu pengesahan enam Raperda diketuk, jumlah itu susut menjadi 14.
Bagi Ade Sudrajat, Ketua Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), kegaduhan administratif ini adalah gejala dari kerusakan yang jauh lebih dalam.
“Legislatif adalah akar masalah. Dari hulu ke hilir, kebijakan publik ditentukan kualitas DPRD. Kalau hulunya retak, jangan berharap hilirnya mengalirkan kebijakan yang sehat,” ujar Ade.
Hulu yang Rusak, Hilir yang Sakit
Ade melihat persoalan absensi fiktif, anggota yang keluar-masuk sidang, hingga kuorum yang tak pernah benar-benar terpenuhi sebagai indikasi bahwa lembaga legislatif kehilangan disiplin internalnya.
Menurutnya, kualitas sebuah kebijakan publik tidak ditentukan pada tahap implementasi, melainkan sejak momen paling awal: kehadiran fisik para pengambil keputusan.
“APBD, Perda, pengawasan, sampai check and balance eksekutif—semuanya bertumpu pada integritas DPRD. Begitu legislatif bermain-main dengan absensi dan kuorum, seluruh arsitektur kebijakan publik runtuh,” katanya
Ia menyebut proses legislasi yang cacat hanya akan menyalurkan patologi ke tahap berikutnya: korupsi anggaran, proyek yang mangkrak, dan kegagalan pelayanan publik.
Akar Masalah yang Jarang Disentuh
Ade menilai bahwa banyak kritik publik selama ini berhenti pada eksekutif, padahal sumber persoalan sering berawal dari legislatif.
Menurutnya, DPRD adalah penjaga gerbang pertama, tempat seluruh kebijakan publik lahir dan diberi legitimasi.
“Selama legislatif tidak membenahi integritas internalnya, jangan salahkan eksekutif ketika kebijakan gagal. Gerbang itu bocor sejak awal,” ujar Ade.
Ia mengingatkan bahwa politik absensi dan representasi semu telah menciptakan jarak antara lembaga publik dan realitas sosial warga.
Mandulnya Pengawasan Internal
Ade juga menyoroti sikap pasif Badan Kehormatan DPRD, lembaga yang seharusnya menjadi mekanisme penyaring pertama atas perilaku anggota.
“Kita melihat bukan hanya pelanggaran etik, tetapi sikap diam lembaga yang seharusnya menjaga etik. Ini tanda bahaya bagi demokrasi lokal,” katanya.
Menurutnya, pembiaran ini berpotensi menormalisasi ketidakdisiplinan sebagai kultur politik, bukan sekadar pelanggaran prosedur.
Mendesak Perbaikan Hulu
Ade menutup dengan pernyataan tegas bahwa wajah Garut hari ini—baik buruknya pelayanan publik, penyusunan anggaran, hingga efektivitas kebijakan—bercermin pada kualitas DPRD-nya.
“Kalau DPRD tidak berubah, Garut tidak akan berubah. Perbaikan hulu harus dimulai dari legislatif, karena di sanalah seluruh kebijakan pertama kali dibentuk.” [JB]

