GARUT, JABARBICARA.COM — Di balik setiap butir padi yang tersaji di meja makan, ada tangan-tangan kasar yang tak pernah dikenal publik. Tangan yang menggenggam cangkul sejak fajar, menapak tanah basah, menantang terik matahari, namun kerap dilupakan dalam derap pembangunan. Mereka adalah buruh tani – denyut nadi produksi pangan Indonesia, yang kini menyerukan suara hati mereka dari Kabupaten Garut, sebuah daerah agraris yang justru menjadi saksi bisu keterpinggiran mereka.
Ketua DPD Tani Merdeka Kabupaten Garut, Mamat Acek, menyuarakan kegelisahan itu dengan suara bergetar namun tegas.
“Kita perjuangkan buruh tani bukan sekadar bagian dari rantai komoditi pertanian. Mereka adalah lokomotif yang menggerakkan seluruh sistem produksi pangan. Tanpa buruh tani, ketahanan pangan hanyalah slogan,” ujar Mamat dalam keterangan resminya.
Garut dengan lanskap alamnya yang subur dan basis pertanian yang mendominasi struktur ekonomi desa, justru menyimpan ironi: mayoritas lahan pertanian dikerjakan oleh buruh tani yang tidak memiliki lahan, tanpa kepastian kerja, tanpa perlindungan standar upah, dan jauh dari perhatian kebijakan.
Berdasarkan data dan hasil penelitian internal DPD Tani Merdeka, sebagian besar lahan pertanian di Garut dikelola oleh tenaga kerja buruh harian lepas, dengan upah yang tidak menentu dan belum pernah tersentuh oleh regulasi layaknya sektor lain.
“Mereka itu tulang punggung produksi pangan. Tapi mereka tak punya perlindungan, tak ada jaminan, bahkan tak tahu besok masih bisa bekerja atau tidak. Ini bukan soal belas kasihan, ini soal keadilan,” lanjut Mamat, menahan emosinya.
Seruan ini pun mendapat dukungan moral dan politik dari Dede Kusdinar, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang dikenal sebagai sosok sederhana, merakyat, dan tak segan menyuarakan hak petani dan buruh.
“Saya berdiri bersama buruh tani. Jangan hanya bicara ketahanan pangan tanpa memastikan yang bekerja untuk itu bisa bertahan hidup dengan layak. Kita butuh kebijakan anggaran dan standar upah minimum bagi buruh tani di daerah agraris seperti Garut,” ungkap Dede Kusdinar.
Dede meminta agar Pemerintah Kabupaten Garut – Bupati, Wakil Bupati, dan DPRD – memberi perhatian khusus terhadap nasib buruh tani. Ia menekankan pentingnya menjadikan kesejahteraan buruh tani sebagai prioritas dalam agenda pembangunan daerah dan penganggaran APBD.
“Kita tidak bicara bantuan sosial. Kita bicara upah layak, pengakuan hukum, dan anggaran yang berpihak. Para buruh tani ini bukan beban, mereka adalah penyelamat bangsa dari ancaman krisis pangan,” tambah Dede.
Seruan ini bukan untuk mengemis. Ini adalah panggilan nurani dari akar rumput, dari mereka yang paling tahu arti lapar dan semangat hidup. Jika ketahanan pangan menjadi agenda nasional, maka sudah seharusnya perhatian pada buruh tani menjadi kewajiban daerah.
Hari ini, dari ladang-ladang yang sunyi di kaki Gunung Cikuray hingga persawahan Cibiuk yang luas, suara hati para buruh tani menggema: “Kami ingin hidup layak. Kami ingin dihargai. Kami ingin diakui.”
Dan dari Garut, suara itu menembus langit, berharap didengar bukan hanya oleh pemerintah, tapi oleh setiap hati yang masih peduli pada kemanusiaan. [JB]