GARUT, JABARBICARA.COM — Kritik terhadap lonjakan harga kebutuhan pokok di Kabupaten Garut terus mengemuka. Dari sisi pemantauan kebijakan publik, Ketua Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), Ade Sudrajat, menyoroti lemahnya fungsi pengawasan lembaga legislatif daerah.
Dalam keterangannya, Ade menyebut bahwa DPRD Garut seharusnya memainkan peran strategis dalam memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok, terutama di saat gejolak pasar semakin dirasakan masyarakat.
“Situasi naiknya harga pangan tidak bisa dilepaskan dari efektivitas pengawasan DPRD. Ketika harga terus naik tetapi tidak ada langkah konkret, itu artinya fungsi kontrol belum berjalan,” ujarnya.
Ade juga menyinggung persoalan kehadiran anggota dalam agenda-agenda penting di legislatif yang menurutnya tidak mencerminkan keseriusan lembaga dalam mengawal kepentingan publik.
“Keberadaan DPRD bukan formalitas daftar hadir. Yang dibutuhkan adalah kehadiran substantif—turun melihat kondisi pasar, berbicara dengan pedagang, memahami masalah distribusi,” katanya.
Menurut GIPS, ketidakstabilan harga pangan merupakan indikator bahwa kebijakan daerah membutuhkan revisi, penguatan koordinasi, dan pengawasan yang jauh lebih intensif.
Brigade Rakyat Kritik Slogan “Garut Hebat” yang Tak Sejalan dengan Kondisi Pangan
Di sisi lain, respons keras datang dari organisasi masyarakat Brigade Rakyat melalui ketuanya, Risman Nuryadi, S.H., M.H. Kritik Risman tidak diarahkan pada legislatif, tetapi pada penggunaan slogan pembangunan daerah yang dinilainya tidak sejalan dengan realitas kebutuhan pokok di masyarakat.
Dalam pernyataannya, Risman mempertanyakan makna slogan “Garut Hebat” ketika masyarakat mengalami tekanan akibat harga barang kebutuhan pokok yang terus merangkak naik.
“Slogan itu tidak punya makna ketika harga kebutuhan dasar tidak terjangkau. Hebat atau tidaknya sebuah daerah diukur dari kemampuan pemerintah menjamin kebutuhan rakyat, bukan dari spanduk yang terpajang di jalan,” tegasnya.
Risman menilai bahwa pemerintah daerah harus mengutamakan kerja nyata ketimbang narasi citra.
“Rakyat tidak mengukur kebijakan dari kampanye visual. Mereka merasakannya dari harga beras, cabai, minyak goreng, dan kebutuhan harian yang setiap hari mereka beli,” ujarnya.
Menurut Brigade Rakyat, situasi ini harus menjadi peringatan agar pemerintah lebih fokus pada persoalan substantif—terutama pengendalian harga, pengawasan pasar, dan perlindungan masyarakat berpenghasilan rendah.
Kesimpulan Redaksi
Kritik dari GIPS dan Brigade Rakyat sama-sama menyoroti persoalan yang berangkat dari dinamika berbeda:
- GIPS menekankan aspek kelembagaan dan lemahnya pengawasan DPRD.
- Brigade Rakyat mempersoalkan disonansi antara slogan pembangunan dan realitas kesejahteraan rakyat.
- Keduanya menunjukkan bahwa stabilitas harga kebutuhan pokok bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga cermin efektivitas tata kelola pemerintahan daerah. [JB]







