Syafril Sjofyan: Gubernur Dedi Mulyadi Abaikan Fungsi Pers, Ancaman dan Penyempitan Ruang Demokrasi

Bandung160 Dilihat

BANDUNG, JABARBICARA.COM – Pengamat Kebijakan Publik yang juga Aktivis 77-78, Syafril Sjofyan, menilai pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menyebut tidak perlu lagi bergantung pada media konvensional sebagai bentuk penyempitan ruang demokrasi. Menurutnya, komunikasi satu arah melalui media sosial pribadi tidak bisa menggantikan fungsi kontrol sosial yang dijalankan oleh pers profesional.

Pernyataan kontroversial tersebut disampaikan Dedi saat berbicara di hadapan mahasiswa Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, dan diunggah ke kanal YouTube UNPAK TV pada 24 Juni 2025. Dalam pidatonya, Dedi menyebut pemimpin saat ini lebih efisien menyampaikan informasi melalui media sosial tanpa harus bekerja sama dengan media massa.

“Pernyataan itu berbahaya. Media sosial bukanlah saluran kredibel dalam konteks komunikasi publik yang sehat,” tegas Syafril dalam pernyataan tertulis, Sabtu (29/6/2025).

Menurut Syafril, akun pribadi media sosial pejabat tidak melalui proses verifikasi independen, tidak disunting secara jurnalistik, dan cenderung dikendalikan oleh tim komunikasi internal. “Itu ruang propaganda, bukan ruang publik. Apalagi jika pejabat tidak membuka akses kepada wartawan,” jelasnya.

Ia mengingatkan, pers memiliki fungsi penting sebagai kanal kritik, verifikasi informasi, dan jembatan aspirasi rakyat. Tanpa itu, pejabat hanya berbicara kepada pendukungnya sendiri dalam ruang gema (echo chamber) yang berisiko memperkuat narasi tunggal.

Baca Juga:  PWI Kota Bandung Pererat Sinergi Lewat Halalbihalal & dihadiri Wakil Walikota Bandung

Pers sebagai Pilar Demokrasi

Syafril juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. “Pers itu bukan sekadar media informasi, tapi juga alat kontrol sosial. Ketika pejabat publik mulai menghindarinya, maka yang dipertaruhkan adalah transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.

Menurutnya, pernyataan Gubernur Dedi yang cenderung menafikan peran media massa bisa mengarah pada otoritarianisme digital. Jika pola ini ditiru oleh pejabat lain di tingkat daerah, maka ruang publik akan semakin sempit.

“Yang dibutuhkan bangsa ini adalah ruang dialog terbuka. Media sosial bisa jadi pelengkap, tapi tidak bisa menjadi satu-satunya kanal komunikasi pejabat,” tegas Syafril. [**]

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *