RTRW Bukan Cek Kosong untuk Alih Fungsi Sawah: Meluruskan Dilema antara Industri dan Pangan di Garut

Opini77 Dilihat

Oleh: Widiana Safaat, Ketua DPC Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Garut, Penasehat DPD Tani Merdeka Kabupaten Garut

Kabupaten Garut kini berada di persimpangan jalan yang krusial. Di satu sisi, ada desakan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan kawasan industri yang telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Di sisi lain, ada suara nurani dan tanggung jawab besar untuk melindungi lahan-lahan sawah produktif yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan denyut nadi kehidupan para petani kita.

Dilema ini seringkali dibingkai sebagai pilihan sulit antara industri atau pertanian, antara kemajuan ekonomi atau kedaulatan pangan. Namun, sebagai Ketua DPC HKTI Garut, saya ingin menegaskan bahwa ini bukanlah pilihan biner. Ini adalah tentang memahami dan menaati aturan main yang sudah ditetapkan negara untuk memastikan pembangunan berjalan selaras dengan amanat perlindungan lahan pertanian. Adanya Perda RTRW yang mengalokasikan zona industri tidak serta-merta menjadi “cek kosong” untuk mengkonversi lahan sawah begitu saja.

Memahami Dua Payung Hukum Perlindungan Sawah

Banyak yang mungkin belum sepenuhnya memahami bahwa Indonesia memiliki dua instrumen hukum utama untuk melindungi lahan pertanian. Keduanya harus menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Garut.

Baca Juga:  “Dari Jalanan ke Nurani : IPM dan Panggilan Kemanusiaan”

Pertama adalah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009. Ini adalah mekanisme perlindungan yang ideal, di mana penetapannya bersifat

bottom-up atau diinisiasi oleh pemerintah daerah dan dikunci secara permanen melalui Perda RTRW. LP2B adalah komitmen jangka panjang daerah untuk mendedikasikan lahan demi masa depan pangan.

Namun, menyadari lambatnya implementasi LP2B di banyak daerah , pemerintah pusat melakukan intervensi melalui instrumen kedua:

Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD). Kebijakan yang lahir dari Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 ini bersifat top-down. Pemerintah pusat, melalui tim terpadu lintas kementerian, memetakan dan menetapkan sawah-sawah yang harus dilindungi di seluruh Indonesia melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ATR/BPN.

Ketika RTRW Bertemu Peta LSD: Mana yang Harus Diikuti?

Di sinilah letak inti permasalahan di Garut. Mungkin ada zona industri dalam RTRW kita yang tumpang tindih dengan Peta LSD yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Lalu, apa yang terjadi? Apakah Perda RTRW secara otomatis mengalahkan Kepmen LSD? Jawabannya: tidak.

Perpres No. 59 Tahun 2019 secara tegas menyatakan bahwa lahan yang masuk dalam Peta LSD tidak dapat dialihfungsikan sebelum mendapat rekomendasi perubahan penggunaan tanah dari Menteri ATR/BPN. Artinya, Peta LSD berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan pengaman sementara yang sangat kuat. Sekalipun RTRW daerah telah menguningkan sebuah area untuk industri, jika area tersebut masuk dalam Peta LSD, maka lampu merah menyala. Prosesnya tidak bisa dilanjutkan tanpa izin dari pusat.

Baca Juga:  DPC GMNI GARUT TEKANKAN PEMERINTAH UNTUK OBJEKTIF DAN LAKUKAN PENGAWASAN KETAT TERHADAP PROSES INVESTIGASI DALAM TRAGEDI PESTA RAKYAT PERNIKAHAN WAKIL BUPATI GARUT

Prosedur Alih Fungsi Bukan Perkara Mudah

Penting untuk dipahami bahwa prosedur alih fungsi, baik untuk lahan berstatus LSD maupun LP2B, dirancang untuk tidak mudah dan penuh syarat.

Untuk lahan berstatus LSD, alih fungsi hanya dapat dipertimbangkan untuk kepentingan yang sangat strategis, seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) atau kepentingan umum (misalnya, pembangunan jalan atau rumah sakit). Pemohon, baik pemerintah maupun swasta, harus mengajukan permohonan rumit ke Kementerian ATR/BPN, dilengkapi berbagai dokumen teknis dan bukti kepemilikan.

Sementara untuk lahan yang sudah ditetapkan sebagai LP2B dalam Perda, aturannya jauh lebih ketat. Alih fungsi pada dasarnya dilarang, kecuali untuk kepentingan umum atau bencana alam. Pihak yang melakukan alih fungsi memiliki kewajiban kumulatif yang berat: melakukan kajian kelayakan strategis, menyusun rencana alih fungsi, dan yang terpenting, menyediakan lahan pengganti. Untuk sawah beririgasi, lahan pengganti yang harus disediakan minimal tiga kali lipat dari luas lahan yang dialihfungsikan.

Baca Juga:  Pendidikan Bermakna sesuai Fitrah, Hak Anak, dan Masa Depan Garut di Hardiknas 2025

Sikap dan Seruan HKTI Garut

Melihat kompleksitas aturan ini, HKTI Kabupaten Garut menyerukan beberapa hal:

  1. Sinkronisasi Segera: Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Garut dan DPRD untuk segera melakukan sinkronisasi Perda RTRW dengan Peta LSD yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Integrasikan Peta LSD tersebut untuk ditetapkan secara definitif menjadi LP2B. Ini akan memberikan kepastian hukum tertinggi dan mengakhiri segala polemik.
  2. Transparansi Proses: Setiap rencana pembangunan yang berpotensi mengalihfungsikan lahan sawah harus dilakukan secara transparan. Buka datanya kepada publik, libatkan organisasi petani dan masyarakat dalam setiap tahapannya.
  3. Prioritaskan Ketahanan Pangan: Pembangunan industri memang penting, tetapi jangan sampai mengorbankan lumbung pangan kita. Kehilangan lahan sawah produktif adalah ancaman permanen bagi kemandirian pangan Garut di masa depan.

Pembangunan ekonomi dan perlindungan lahan pertanian bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan harus berjalan beriringan. RTRW adalah alat perencanaan, bukan justifikasi untuk mengabaikan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Mari kita pastikan pembangunan di Kabupaten Garut berjalan di atas rel hukum yang benar, demi kemajuan yang berkelanjutan dan masa depan pangan yang terjamin bagi anak cucu kita. [JB]

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *