GARUT, JABARBICARA.COM – Maraknya fenomena jurnalis abal-abal yang datang membawa kartu pers tapi ujung-ujungnya minta uang dengan ancaman dan pemerasan makin bikin masyarakat resah. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Garut menerima banyak keluhan dari sekolah-sekolah dan pemerintahan desa terkait aksi para “preman berkedok jurnalis” tersebut. Ketua PWI Garut, Aep Hendy mengungkapkan, bahwa pihaknya telah menerima laporan dari berbagai instansi pendidikan dan desa yang merasa dirugikan.
“Mereka datang ngaku-ngaku wartawan, bawa kartu pers dari media yang nggak jelas, terus minta uang. Kalau nggak dikasih, katanya bakal diberitain jelek,” ujar Aep kepada awak media, Selasa (20/5/2025).
Menurut Aep, perilaku seperti itu nggak ada hubungannya dengan dunia jurnalistik.
“Ini mah bukan kerja jurnalistik, ini premanisme. Wartawan itu nggak boleh maksa, apalagi sampai ngancem. Kalau ada yang begitu, itu bukan jurnalis, tapi pelaku kriminal,” tegasnya.
Aep juga memastikan bahwa pihaknya siap membantu jika ada masyarakat yang jadi korban pemerasan oknum berkedok wartawan.
“Jangan takut. Kalau ada kejadian kayak gitu, kita siap bantu mediasi atau bahkan bawa ke jalur hukum. Wartawan sejati kerja buat kepentingan publik, bukan buat cari keuntungan pribadi dengan cara-cara kotor,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi ke masyarakat supaya bisa bedain mana wartawan beneran, mana yang abal-abal.
“Kita akan gandeng berbagai pihak buat edukasi. Ini penting banget, biar masyarakat bisa paham dan nggak gampang ketipu sama oknum yang ngaku-ngaku wartawan,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Feri Purnama, seorang dosen Jurnalistik Universitas Garut. Ia menyebut maraknya jurnalis gadungan ini nggak lepas dari banyaknya media yang nggak jelas identitasnya.
“Banyak media yang nggak punya redaksi jelas, nggak terdaftar di Dewan Pers, dan isinya orang-orang yang nggak punya latar belakang jurnalistik. Mereka bawa kartu pers, tapi nggak ngerti kode etik atau cara kerja wartawan,” ujar Feri.
Menurutnya, ada dua solusi yang bisa dilakukan: penegakan hukum dan peningkatan literasi media.
“Pertama, pelakunya harus ditindak tegas secara hukum. Kedua, masyarakat harus diedukasi soal media dan jurnalistik. Kampus, organisasi profesi kayak PWI, dan media-media resmi harus kerja bareng buat ningkatin pemahaman publik,” jelasnya. ***