GARUT, JABARBICARA.COM – Masyarakat Desa Karyamekar, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, akhirnya turun tangan menyuarakan penderitaan panjang yang mereka alami. Di tengah gemerlap keuntungan energi nasional dari wilayah Darajat, jalan di desa mereka justru rusak parah dan gelap gulita. Sementara kendaraan berat dari perusahaan panas bumi dan sektor pariwisata terus berlalu-lalang, warga harus bergelut dengan debu, lumpur, dan ancaman kecelakaan tiap hari.
Sebagai bentuk protes, poster, baliho, dan selembaran perlawanan terpampang di sepanjang jalur utama Darajat, menuntut pemerintah segera membangun jalan dan penerangan. Aksi ini langsung memicu reaksi dari pemerintah daerah.
Kepala Dinas PUPR Kabupaten Garut, Agus Ismail, didampingi Camat Pasirwangi Bambang, perwakilan UPTD PUPR, serta unsur perusahaan PT Star Energy seperti Pak Dali dan Tata Sumirat, akhirnya mendatangi lokasi. Turut hadir Babinsa, Babinkamtibmas, Kepala Desa Yadi, dan tokoh-tokoh masyarakat dalam pertemuan darurat dengan warga.
Namun, pertemuan itu justru menjadi panggung terbuka kemarahan masyarakat.
“Jangan remehkan warga Karyamekar. Kami sudah terlalu lama bersabar. Kalau jalan dan PJU tak segera dibangun, kami siap boikot jalur produksi panas bumi ini!” tegas Jajang Apad, Ketua Gabungan Masyarakat Karyamekar dan Padaawas (GMPK).
Menurut Jajang, kondisi saat ini adalah bentuk nyata pengabaian negara terhadap rakyatnya sendiri. Di atas tanah yang menyumbang listrik nasional melalui tiga raksasa energi — Star Energy, Indonesia Power, dan Pertamina Geothermal Energy (PGE) — rakyatnya hidup dalam gelap dan keterasingan.
“Kami mati bagaikan ayam di lumbung padi. Di balik angka ratusan miliar DBH panas bumi, bonus produksi, dan TJSL, kami justru hidup seperti pengemis di tanah sendiri,” lanjutnya.
Dasep, Aceng, dan Pa Ono, tokoh masyarakat lainnya, memperkuat pernyataan tersebut.
“RW 07 contohnya. Jalan kami retak, gelap, dan nyaris tak bisa dilewati. Truk-truk besar menggilas jalan kami setiap hari, tapi pembangunan nihil. Pemerintah dan perusahaan hanya hadir saat sudah gaduh,” ujar Dasep.
Kritik dari Pemerhati Kebijakan: Ini Wajah Ketimpangan Struktural
Menyikapi situasi ini, Dadan Nugraha, seorang advokat dan pemerhati kebijakan publik, menilai protes warga sebagai alarm keras bagi pemerintah daerah dan dunia usaha.
“Ini bukan sekadar infrastruktur. Ini wajah ketimpangan struktural. Masyarakat penghasil energi harusnya menikmati hasilnya. Tapi realitasnya sebaliknya,” ujarnya.
Menurut Dadan, ketimpangan spasial seperti yang dialami Desa Karyamekar adalah konsekuensi dari pembangunan yang elitis dan minim keberpihakan.
“Kalau daerah penghasil saja dibiarkan rusak, bagaimana dengan daerah yang jauh dari pusat produksi? Ini soal hak dasar warga: jalan, penerangan, dan keadilan fiskal. Pemerintah jangan hanya berpihak pada investor, tapi pada rakyat,” pungkasnya.
“Energi Kami untuk Negeri, Tapi Jalan dan Penerangan Kapan untuk Kami?”
Aksi warga Karyamekar adalah simbol dari keputusasaan yang terorganisir. Di tengah euforia investasi dan proyek energi nasional, masyarakat lokal justru terpinggirkan. Warga tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut keadilan — hak yang seharusnya tidak perlu diminta dengan cara-cara ekstrem.
Kini, bola panas ada di tangan Pemerintah Kabupaten Garut dan perusahaan-perusahaan energi yang beroperasi di sana. Masyarakat menunggu langkah nyata — bukan lagi janji, bukan lagi retorika.
“Kami hanya minta satu hal: jangan jadikan kami tamu di rumah sendiri,” ucap Pa Ono, lirih namun penuh perlawanan. [JB]
—