Dadan Nugraha: Gerakan “Poe Ibu” Gubernur Dedi Mulyadi, Terobosan Solidaritas yang Selaras Hukum, Budaya Sunda, dan Ajaran Islam

Opini74 Dilihat

GARUT, JABARBICARA.COM – Dadan Nugraha, S.H., advokat dan pemerhati kebijakan publik memberikan analisis mendalam mengenai gerakan “Rereongan Sapoe Sarebu” atau yang akrab dikenal sebagai “Poe Ibu”. Inisiatif ini digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) melalui sumbangan sukarela Rp1.000 per hari untuk membantu warga yang kesulitan biaya kesehatan dan transportasi berobat.

Menurut Dadan, gerakan ini bukan hanya bentuk solidaritas masyarakat, tetapi juga model partisipasi yang aman secara hukum, berakar pada kearifan lokal Sunda, dan selaras dengan nilai-nilai Islam serta pendidikan karakter.

Dalam tanggapannya atas klarifikasi Gubernur Dedi Mulyadi, Dadan menekankan bahwa “Poe Ibu” merupakan panggilan moral yang mendorong gotong royong tanpa paksaan. “Ini adalah gerakan hati nurani yang berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai luhur masyarakat Jawa Barat, sambil menghindari jebakan birokrasi yang rumit,” ujar Dadan Nugraha.

Aspek Hukum:

Sukarela dan Bebas dari Pungutan Liar

Dari perspektif hukum, Dadan menilai klarifikasi KDM sangat krusial. Gerakan ini ditekankan sebagai inisiatif sukarela, sehingga berada di luar kategori pungutan liar (pungli) yang melanggar undang-undang.

Baca Juga:  Akankah janji kampanye prabowo satu persatu ditepati?

“Jika ada unsur paksaan, ancaman, atau tarif wajib, barulah ini bisa digolongkan sebagai pungutan tidak sah. Namun, dengan penekanan pada ‘sukarela’, gerakan ini aman dan murni partisipasi masyarakat,” jelas Dadan.

Ia juga memuji model pengelolaan dana di/RW oleh bendahara terpercaya, dengan pelaporan melalui grup WhatsApp. “Pendekatan ini meminimalkan risiko penyelewengan oleh birokrasi tinggi, sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, wadah sukarela seperti Balai Pananggeuhan untuk ASN di Pemprov Jabar memastikan tidak ada pengumpulan dana rakyat secara resmi, sehingga terhindar dari isu penyalahgunaan APBD atau APBN.

“Aspek Sosial dan Budaya Lokal: Revitalisasi Gotong Royong SundaSecara sosial, gerakan ini dianggap Dadan sebagai upaya menghidupkan kearifan lokal Sunda, khususnya nilai gotong royong dan trilogi filosofis Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh.

Silih Asih (Saling Mengasihi):

Terwujud dalam bantuan nyata untuk warga sakit, terutama biaya transportasi dan akomodasi berobat.

Silih Asah (Saling Mengasah/Mencerdaskan):

Didorong oleh transparansi pelaporan di RT/RW, yang melatih warga mengelola sumber daya bersama dan aktif mengontrol.

Baca Juga:  Tinjauan Kritis Perancangan Ulang Terminal Guntur Melati Garut: Perspektif Hukum Formil dan Materiil

Silih Asuh (Saling Mengasuh/Membimbing):

Tercermin dari ajakan KDM kepada kepala daerah dan ASN untuk proaktif melayani tanpa birokrasi panjang.

Dadan menambahkan bahwa “Poe Ibu” mengadopsi tradisi beas jimpitan—mengumpulkan segenggam beras dari setiap rumah—yang telah melembaga di masyarakat Sunda.

“Ini membuat gerakan mudah diterima karena berakar kuat pada budaya lokal, bukan impor dari luar.”

Aspek Budaya Islam dan Pendidikan Karakter:

Sedekah Rutin untuk SolidaritasDari sudut pandang Islam, Dadan melihat gerakan ini kaya nilai spiritual.

Sumbangan Rp1.000 per hari adalah bentuk shadaqah yang istiqomah (rutin), sesuai ajaran bahwa sedekah kecil tapi konsisten lebih utama daripada besar tapi sporadis.

“Ini mendidik warga membangun kebiasaan berinfak, sekaligus memperkuat ukhuwah Islamiyah atau solidaritas persaudaraan,” katanya, merujuk hadis Nabi Muhammad SAW bahwa mukmin saling menguatkan seperti bangunan yang kokoh.

Lebih lanjut, gerakan ini berfungsi sebagai alat pendidikan karakter bagi warga Jawa Barat. “Partisipasi melatih kepekaan sosial, kedermawanan, dan istiqomah dalam berbuat kebaikan. Ini adalah panggilan moral yang menumbuhkan solidaritas tanpa ketergantungan penuh pada pemerintah”.

Baca Juga:  Tinggalkan “Kota Dodol”, Sambut “Garut Gembira”: Momentum Baru Citra Kabupaten

Model Efektif untuk Partisipasi Masyarakat

Dadan Nugraha menyimpulkan bahwa “Poe Ibu” adalah terobosan sosial cerdas: aman secara hukum karena sukarela dan terdesentralisasi, serta revitalisasi nilai Sunda yang selaras dengan Islam.

“Contoh Gubernur Dedi Mulyadi ini mendorong masyarakat berpartisipasi untuk sesama, sambil mendidik karakter istiqomah melalui silih asih, silih asah, silih asuh.”

Mengenai efektivitas model gotong royong di tingkat RT/RW dibandingkan pengelolaan dana pemerintah daerah, Dadan berpendapat bahwa pendekatan desentralisasi ini lebih efektif.

“Pengelolaan di RT/RW lebih cepat, transparan, dan dekat dengan masyarakat, mengurangi birokrasi lambat dan potensi korupsi. Sementara dana pemerintah daerah sering terhambat regulasi, model ini memberdayakan komunitas secara langsung—sebuah pelajaran berharga untuk kebijakan publik di Indonesia.”

Sebagai advokat yang fokus pada hak masyarakat dan sinergi komunitas, Dadan Nugraha mendorong inisiatif serupa di daerah lain untuk memperkuat solidaritas nasional. [JB]

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *