GIPS: Janji “Garut Hebat” Harus Dipertanggungjawabkan Secara Hukum dan Etik

Garut97 Dilihat

GARUT, JABARBICARA.COM — Ketua Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), Ade Sudrajat, menilai bahwa program unggulan “Garut Hebat” yang pernah dijanjikan oleh Bupati dan Wakil Bupati Garut bukan sekadar jargon politik, tetapi mengandung konsekuensi hukum dan etik yang nyata.

Menurut Ade, masyarakat Garut kini mulai mempertanyakan janji besar seperti Rp2 juta per kepala keluarga, layanan kesehatan gratis, serta 100.000 lapangan kerja baru, yang hingga kini belum menunjukkan capaian signifikan. “Publik berhak menagih. Janji politik bukan sekadar retorika kampanye, tetapi harus dituangkan ke dalam kebijakan dan APBD. Begitu kepala daerah dilantik, janji itu berubah menjadi kewajiban hukum,” ujarnya tegas.

Ade menjelaskan, dalam kerangka hukum nasional, janji politik memang bukan perjanjian perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, namun menjadi dokumen normatif yang wajib masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Artinya, setiap visi dan misi kepala daerah terpilih wajib diterjemahkan ke dalam program nyata melalui Perda RPJMD dan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai dasar pelaksanaan anggaran dan kegiatan.

“Begitu RPJMD disahkan, maka seluruh janji kampanye menjadi bagian dari sistem hukum daerah. Kalau tidak diimplementasikan, itu bisa dianggap sebagai pelanggaran etik pemerintahan dan bentuk ketidakpatuhan terhadap mandat rakyat,” kata Ade.

Kritik Tajam terhadap Implementasi

GIPS menilai bahwa lemahnya realisasi program seperti “1 Desa 1 Sarjana” dan “Garut Infrastruktur Mulus” menunjukkan ketidakkonsistenan antara visi politik dan praktik birokrasi. “Kegagalan ini bukan hanya soal teknis atau anggaran, tapi soal komitmen dan integritas kepala daerah dalam menjalankan amanat RPJMD,” ujar Ade.

Ia menambahkan, kendala struktural seperti keterbatasan APBD atau ketergantungan pada kebijakan pusat tidak dapat dijadikan alasan utama. “Justru pemimpin daerah yang visioner harus mampu menembus batas birokrasi dan mencari terobosan fiskal agar janji kampanye tak berhenti di spanduk dan baliho,” imbuhnya.

Aspek Akuntabilitas dan Sanksi

Ade juga menegaskan pentingnya pengawasan publik dan lembaga politik terhadap pelaksanaan janji “Garut Hebat”. Ia menyebut DPRD, Ombudsman, dan masyarakat sipil memiliki peran strategis dalam memastikan akuntabilitas pemerintahan daerah.

“Kalau janji yang masuk RPJMD tidak terlaksana, maka kepala daerah harus dimintai pertanggungjawaban politik dan etik. DPRD bisa memanggil, Ombudsman bisa menilai maladministrasi, dan publik bisa memberi sanksi moral,” ungkapnya.

Namun, Ade juga mengingatkan bahwa tidak semua janji yang gagal dapat diproses secara hukum pidana, kecuali ada unsur manipulatif atau money politics sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Pilkada, yakni menjanjikan materi untuk memengaruhi pemilih.

“Kalau janji Rp2 juta per KK itu ternyata bersifat iming-iming materiil yang sengaja dikemas untuk memengaruhi pemilih, maka bisa masuk kategori pelanggaran Pilkada,” ujarnya menegaskan.

Seruan GIPS

Di akhir pernyataannya, Ade Sudrajat menyerukan agar Pemkab Garut segera melakukan audit kebijakan terhadap capaian program “Garut Hebat”, sekaligus membuka data realisasi APBD secara transparan kepada publik.

“Ini bukan tentang politik, tapi tentang moral pemerintahan. Garut tidak butuh slogan baru, yang dibutuhkan adalah konsistensi antara kata dan kerja. Kalau ‘Garut Hebat’ gagal dijalankan, maka kredibilitas pemerintahan pun akan hancur di mata rakyat,” tutupnya. [JB

Baca Juga:  Kompolnas Hadiri Seminar Deradikalisasi Di Ponpes Darussalam Garut

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *