GARUT, JABARBICARA.COM – Lembaga Swadaya Masyarakat Generasi Pemberdayaan Masyarakat (GAPERMAS) menggelar audiensi dengan Komisi II DPRD Kabupaten Garut pada Jumat (31/10/2025), membahas isu sensitif terkait Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam sektor perkawinan dan perceraian. Namun sayangnya, audiensi yang diharapkan menjadi momentum dialog konstruktif justru diwarnai kekecewaan lantaran pihak Pengadilan Agama Garut tidak hadir.
Audiensi tersebut dihadiri oleh Ketua Komisi III DPRD Garut Asep Mulyana, Asisten Daerah (Asda) I Bambang Hafidz, perwakilan Kementerian Agama Kabupaten Garut Aom Muhtarom, serta sejumlah perwakilan dari dinas dan Bappeda Kabupaten Garut.
Dalam pertemuan itu, terungkap fakta mencengangkan: angka perceraian di Kabupaten Garut telah mendekati 70.000 kasus. Jika setiap perkara dikenakan biaya rata-rata Rp500.000, maka potensi PNBP dari sektor tersebut bisa mencapai Rp30 miliar belum termasuk dari biaya PNBP untuk perkara perkawinan dan waris.
Ketua Umum GAPERMAS, Asep Mulyana, S.Pd, menyoroti pentingnya transparansi dan keberpihakan dalam pengelolaan dana PNBP. Ia menegaskan bahwa sesuai UU No. 9 Tahun 2018 tentang PNBP serta PP No. 44 Tahun 2025, dana tersebut semestinya dapat dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk program penguatan keluarga, bimbingan perkawinan, maupun perlindungan anak korban perceraian.
“Apa yang dibayarkan masyarakat seharusnya kembali lagi dalam bentuk program yang bermanfaat, bukan hanya masuk kas negara tanpa dampak langsung,” tegas Asep.
Asep juga mengungkapkan kekecewaan terhadap Pengadilan Agama yang memiliki peranan penting dalam persoalan ini tidak hadir dalam Audiensi tersebut.
“Kami sangat menyayangkan Pengadilan Agama tidak hadir hari ini, padahal mereka pihak paling berkepentingan dalam pembahasan ini,” ujarnya dengan nada kecewa.
Sementara itu, Bendahara GAPERMAS, Dindin Elfajr, menilai audiensi ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya dengan Pengadilan Agama. Ia menyebut bahwa angka perceraian di Garut meningkat tajam hanya dalam satu bulan terakhir tercatat hampir 6.000 kasus, dan kini mendekati 7.000 kasus baru.
“Mayoritas perceraian terjadi karena faktor ekonomi, dan dampaknya sangat serius terhadap anak-anak korban perceraian. Banyak di antaranya dititipkan ke nenek atau kerabat, bahkan ada yang terlantar, dan sudah seharusnya dana PNBP dari sektor ini dikembalikan melalui program perlindungan anak dan pemberdayaan keluarga miskin,” Ungkapnya.
Anggota GAPERMAS lainnya, Miftahul Fazar, turut mendorong agar Kementerian Agama memasukkan program-program penguatan keluarga ke dalam DIPA Kementerian/Lembaga (KL), agar dapat direalisasikan dalam anggaran tahun 2026.
Menanggapi hal tersebut, Kasi Bimmas Kemenag Garut, Aom Muhtarom, menjelaskan bahwa persoalan perkawinan dan perceraian merupakan ranah privat yang tidak dapat diintervensi langsung, namun Kemenag tetap berupaya melakukan pencegahan melalui program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) dan BP4 di setiap KUA.
Dari pihak pemerintah daerah, Asda I Bambang Hafidz serta perwakilan Dinas DPKBPPPA menilai faktor perceraian tidak hanya disebabkan oleh ekonomi, tetapi juga pernikahan dini. Mereka menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam melakukan edukasi dan pendataan terhadap anak-anak korban perceraian yang belum terakomodasi dengan baik.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Garut, Asep Mulyana, menegaskan bahwa isu ini harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah.
“Kita akan dorong agar program penguatan keluarga dan perlindungan anak masuk dalam prioritas APBD 2028,” tegasnya.
Audiensi tersebut berakhir dengan catatan penting: perlunya transparansi dan keberpihakan dalam pengelolaan PNBP sektor perkawinan dan perceraian, serta harapan agar Pengadilan Agama tidak lagi absen dalam forum-forum strategis yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. [JB]


 
																						 
							
													 
							
													 
							
													 
							
													




