GARUT, JABARBICARA.COM — Madrasah Diniyah Takmiliyah, atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai sekolah agama, merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari inisiatif serta budaya masyarakat Islam. Keberadaan Madrasah Diniyah bertujuan untuk memperkuat pendidikan keagamaan yang porsinya relatif terbatas di sekolah formal, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA, agar anak-anak memiliki pemahaman agama yang lebih mendalam serta membentuk akhlak yang mulia, Senin (15/12/2025).
Namun, setelah adanya pengakuan negara melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 30 dan 31 beserta penjelasannya yang menyebutkan bahwa madrasah merupakan bagian dari pendidikan keagamaan, termasuk Madrasah Diniyah, ditambah dengan regulasi lain seperti Permendagri Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Madrasah Diniyah Formal, SK Pendais Nomor 3633 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Diniyah, serta Perda Nomor 9 Tahun 2020 dan Perbup Nomor 309 Tahun 2013, justru muncul persoalan baru. Madrasah Diniyah dinilai bukan semakin mendapat perhatian dan alokasi anggaran yang memadai, melainkan diduga menjadi ajang eksploitasi dan lahan bisnis bagi pihak-pihak tertentu.
Temuan Tim Awak Media di Lapangan
Salah satu bentuk dugaan eksploitasi tersebut adalah adanya praktik jual beli soal ujian yang dinilai sangat memberatkan lembaga penyelenggara Madrasah Diniyah serta para orang tua siswa. Penjualan soal ujian tersebut diduga dilakukan oleh FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah) dengan harga sekitar Rp49.000 per siswa untuk tujuh mata pelajaran.
Sejumlah pengelola Madrasah Diniyah dan guru yang enggan disebutkan identitasnya mengaku merasa keberatan. Mereka menyampaikan bahwa biaya tersebut sulit dibebankan kepada peserta didik, mengingat keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua murid.
Salah satu pengurus Madrasah Diniyah menyampaikan keluhannya:
“Na ari Kemenag sagala téh meni diduitkeun, abdi mah lieur. Abdi mah meser gé sapaket wé, da teu aya artos. Kajeun bade difotokopi wé,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menambahkan:
“Cik A punten, pang dugikeun ka Kemenag, pang naroskeun leres kedah dipeser? Jang Diniyah wé kedah jadi bancakan,” ujarnya dengan nada kesal.
Jika dilakukan perhitungan, dengan asumsi beban Rp49.000 per siswa dan jumlah siswa Madrasah Diniyah se-Kabupaten Garut berdasarkan data pencarian Google, yakni rata-rata 30 siswa per Madrasah Diniyah (MDT) dengan total 1.964 MDT, maka jumlah siswa diperkirakan mencapai 58.920 orang.
Dengan harga soal Rp7.000 per mata pelajaran dan total tujuh mata pelajaran, maka biaya per siswa menjadi Rp49.000.
Rp49.000 (harga soal 7 mata pelajaran) dikalikan dengan 58.920 siswa, menghasilkan total dana sekitar Rp2.887.080.000 (dua miliar delapan ratus delapan puluh tujuh juta delapan puluh ribu rupiah) untuk soal ujian Madrasah Diniyah.
Bahkan jika menggunakan asumsi jumlah siswa paling kecil, yakni 10.000 siswa, dana yang dihasilkan tetap mencapai Rp490.000.000 (empat ratus sembilan puluh juta rupiah). Hal ini memunculkan pertanyaan serius terkait siapa yang mengelola, siapa yang mengawasi, serta kepada siapa dana publik tersebut dipertanggungjawabkan dan dilaporkan.
Hasil Konfirmasi dengan Kemenag
Pada Rabu, 10 Desember 2025, awak media melakukan konfirmasi ke Kantor Kementerian Agama Republik Indonesia Kabupaten Garut dan diterima oleh Kasi PD Pontren, Abdul Munir. Ia menjelaskan bahwa peran Kemenag hanya sebatas pengawasan, kontrol, serta menerima laporan dari FKDT. Menurutnya, pembuatan, pendistribusian, dan penentuan harga soal ujian merupakan kewenangan FKDT.
“Kalau tugas saya dari Kementerian Agama itu pengawasan, kontrol, dan koordinasi dengan FKDT atau forum yang diakui oleh Kementerian Agama di Madrasah Diniyah. Karena Madrasahnya nonformal dan berdiri atas swadaya masyarakat. Dari sekian ribu Madrasah Diniyah, sekitar dua ribu empat ratus, itu tidak mungkin semuanya terkontrol langsung oleh saya. Makanya ada forum, program disampaikan ke forum, lalu forum ke lembaga,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa FKDT diibaratkan sebagai perpanjangan tangan Kemenag dalam pelaksanaan ujian, baik ujian awal semester maupun akhir semester, termasuk pengadaan rapor dan ijazah.
“Forum itu seperti tangan kanan Kemenag dalam pelaksanaan ujian, pengadaan rapor, ijazah, dan sebagainya. Itu bukan oleh kabupaten, tapi langsung sampai ke pusat FKDT,” tambahnya.
Terkait informasi penjualan soal ujian, Abdul Munir mengaku telah menerima laporan dan melakukan konfirmasi kepada Ketua FKDT sejak jauh hari.
“Saya mendapat informasi ada penjualan naskah ujian dan sudah saya konfirmasi ke ketua. Jatuh nilainya itu sekitar Rp7.500 per siswa untuk semua soal, itu kan ada 10 soal. Bisa saja oleh lembaga jadi Rp10.000 untuk kebutuhan pengawas atau guru. Di tempat saya nilainya Rp7.500,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa pembiayaan tersebut dibebankan kepada Madrasah Diniyah karena Kemenag tidak memiliki alokasi anggaran khusus untuk Madrasah Diniyah.
“Karena Kemenag tidak punya anggaran untuk Madrasah Diniyah, maka FKDT harus pintar mencari anggaran ke instansi lain, seperti ke Pemda atau Bupati,” ujarnya.
Menurutnya, perbedaan harga di lapangan dimungkinkan terjadi di tingkat bawah.
“Mungkin di lapangan ada perbedaan harga. Saya koordinasi langsung dengan ketua kabupaten, dan yang saya tahu jatuhnya Rp7.500 sampai ke kecamatan, itu pun untuk transportasi. Kalau sampai Rp49.000 itu sangat memberatkan dan saya baru tahu informasi ini,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya akan menelusuri kemungkinan adanya praktik tersebut di tingkat kecamatan.
“Kalau di tingkat kabupaten saya terus komunikasi. Tugas saya pengawasan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jangan membebani lembaga, apalagi masyarakat Madrasah Diniyah yang ekonominya menengah ke bawah,” ujar Munir dengan nada kecewa.
Abdul Munir juga menegaskan akan memanggil dan mengumpulkan para pihak terkait dugaan jual beli soal ujian tersebut.
“Kalau FKDT membebani lembaga dan masyarakat, dan terbukti terjadi, maka FKDT pun bisa dibubarkan,” tegasnya.
Tanggapan dari FKDT Garut
Awak media mencoba mendatangi Kantor FKDT dan menghubungi nomor Ketua FKDT, namun hingga berita ini disusun belum mendapatkan jawaban. Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejumlah pengurus FKDT membenarkan adanya persoalan tersebut, bahkan ada yang menyatakan akan mengundurkan diri akibat kejadian ini.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik LBH Alhakam, Aditiya Kosasih, SH., MH., menyampaikan bahwa berdasarkan hasil investigasi awal, Kemenag dan FKDT patut diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, selain regulasi pendidikan yang telah disebutkan, praktik tersebut juga diduga melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, serta Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Peraturan Pelaksanaannya.
“Pada prinsipnya, biaya operasional dari pengumpulan dana masyarakat tidak boleh melebihi 10 persen dari jumlah pungutan. Bahkan, praktik jual beli soal ini bisa dikategorikan sebagai pungutan liar,” ujar Aditiya.
Ia menambahkan bahwa saat ini pihaknya tengah menyusun legal resume sebagai dasar tindak lanjut dan kajian hukum sebelum persoalan ini dilaporkan kepada aparat penegak hukum. [JB]







