Analisa Mendalam Rotasi Pejabat Garut: Perspektif Hukum dan Urgensi Reformasi Birokrasi

Jabar207 Dilihat

GARUT, JABARBICARA.COM – Garut (22/04/2025) – Gelombang rotasi dan mutasi pejabat yang tengah berlangsung di lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Advokat dan pemerhati kebijakan publik, Dadan Nugraha dari DN IBRAHIM And Partner, memberikan analisis komprehensif dari sudut pandang hukum, menyoroti landasan regulasi dan implikasi kebijakan yang mendasarinya.

Nugraha membuka diskusinya dengan menekankan bahwa rotasi dan mutasi dalam birokrasi bukan sekadar perpindahan rutin, melainkan mekanisme yang diatur ketat oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pasal 73 UU ASN dengan jelas mengatur jenis-jenis mutasi dan secara krusial melarang adanya konflik kepentingan, sebuah fondasi penting bagi objektivitas birokrasi.

Lebih lanjut, Dadan Nugraha menjelaskan bahwa kewenangan Presiden dalam menetapkan peraturan pemerintah terkait manajemen PNS, yang diamanatkan Pasal 117 ayat (1) huruf l UU ASN, menjadi payung hukum bagi implementasinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP Manajemen PNS) yang telah diperbarui melalui PP Nomor 17 Tahun 2020. Bagian Ketiga PP ini secara detail mengatur tujuan strategis mutasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 69, yakni pemenuhan kebutuhan organisasi, pengembangan karier, peningkatan kinerja, dan pemerataan sumber daya manusia. Pasal 70 PP Manajemen PNS menggarisbawahi keharusan mempertimbangkan kualifikasi, kompetensi, kinerja, kebutuhan instansi, serta integritas dan moralitas pegawai dalam setiap keputusan mutasi.

Baca Juga:  Jadi Generasi AI! BINUS UNIVERSITY Pelopori Program Pembelajaran AI Untuk Kembangkan Talenta Digital Indonesia

Keberadaan Tim Pertimbangan Mutasi, yang diatur Pasal 76 PP Manajemen PNS, dipandang Dadan Nugraha sebagai elemen krusial dalam memberikan masukan objektif kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Aspek teknis dan prosedural pelaksanaan mutasi kemudian diperjelas dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 5 Tahun 2019, yang memberikan panduan operasional detail mulai dari pengajuan usul hingga penetapan keputusan mutasi.

Dalam konteks daerah, Dadan Nugraha menyoroti relevansi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur mutasi pejabat daerah, khususnya terkait dengan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Pasal ini secara tegas melarang kepala daerah melakukan mutasi pejabat dalam kurun waktu enam bulan sebelum penetapan calon hingga enam bulan setelah pelantikan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri. Ketentuan ini, menurut Dadan Nugraha, adalah lex specialis yang bertujuan mencegah politisasi birokrasi menjelang dan pasca Pilkada.

Baca Juga:  Reformasi Birokrasi, Fondasi Jabar Tuntaskan Isu Isu Publik

“Dengan kerangka hukum yang komprehensif ini, rotasi dan mutasi seharusnya menjadi instrumen strategis untuk mewujudkan birokrasi yang adaptif, berkinerja tinggi, dan melayani publik secara optimal,” tegas Dadan Nugraha.

Beliau menekankan bahwa netralitas dalam mutasi hanya akan tercapai jika berorientasi pada peningkatan profesionalisme dan pelayanan, bukan sekadar redistribusi kekuasaan. Prinsip meritokrasi, yang diamanatkan Pasal 52 UU ASN, harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan mutasi, dengan seleksi ketat berdasarkan kinerja terukur, integritas, dan kecakapan manajerial.

Dadan Nugraha juga menyoroti korelasi antara perubahan struktur organisasi akibat mutasi dengan alokasi anggaran dalam RAPBD 2025. “Prinsip pengelolaan keuangan negara dan daerah mengamanatkan penyusunan anggaran berdasarkan prioritas dan kebutuhan yang jelas. Jika rotasi ini bertujuan meningkatkan kualitas layanan, maka alokasi anggaran harus konkret mendukung program-program pejabat yang baru dilantik,” jelasnya.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apakah setiap SKPD pasca mutasi memiliki program yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam perspektif teoritis, Dadan Nugraha mengaitkan fenomena ini dengan New Public Management (NPM), yang menekankan efisiensi, kinerja, dan akuntabilitas. “Penerapan prinsip NPM dalam mutasi berarti menempatkan individu yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki kemampuan manajerial yang kuat dan berorientasi pada hasil,” terangnya.

Baca Juga:  120 Anggota DPRD Jabar Periode 2024--2029 Resmi Diambil Sumpah dan Janjinya

Lebih lanjut, Dadan Nugraha menekankan pentingnya pengawasan publik dalam setiap tahapan mutasi. “Prinsip transparansi dan akuntabilitas mengharuskan setiap keputusan mutasi dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Masyarakat berhak mengetahui dasar pertimbangan, mekanisme pelaksanaan, dan potensi dampaknya,” tegasnya.

Sebagai penutup, Dadan Nugraha menilai bahwa rotasi dan mutasi adalah ujian bagi kepemimpinan daerah dalam mereformasi birokrasi. “Kepala daerah memiliki tanggung jawab hukum dan etis untuk memastikan setiap kebijakan mutasi selaras dengan peraturan perundang-undangan dan bertujuan meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan serta kesejahteraan masyarakat. Kegagalan mengedepankan meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas berpotensi melanggar prinsip good governance dan merusak kepercayaan publik,” pungkasnya.

Efektivitas gelombang rotasi dan mutasi di Kabupaten Garut akan ditentukan oleh pemahaman dan implementasi yang benar terhadap landasan hukum serta komitmen kuat untuk mewujudkan birokrasi yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik. Pengawalan ketat dari masyarakat dan elemen pengawas lainnya akan menjadi kunci keberhasilan perubahan positif ini. [Jb]

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *