GARUT, JABARBICARA.COM – Aksi sejumlah mantan karyawan PT Danbi Internasional di Garut yang terpaksa bermalam di depan perusahaan demi menuntut hak-hak pasca Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sorotan tajam. Dadan Nugraha, seorang advokat dan konsultan hukum serta pemerhati kebijakan publik, memberikan analisis hukum komprehensif terkait situasi ini.
Dadan Nugraha menjelaskan bahwa permasalahan ini berakar pada dugaan ketidakpatuhan perusahaan terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Dalam kerangka hukum di Indonesia, perusahaan memiliki kewajiban yang jelas terhadap pekerja yang terkena PHK,” ujarnya, Kamis (01/05/2025)
“Kewajiban ini meliputi pembayaran gaji yang belum dibayarkan, Tunjangan Hari Raya (THR) jika belum ditunaikan pada waktunya, serta kompensasi PHK yang terdiri dari uang pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH).”
Lebih lanjut, Dadan Nugraha merinci dasar hukum kewajiban perusahaan:
1. Gaji dan THR: Keterlambatan pembayaran gaji dan THR jelas melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja serta peraturan pelaksananya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan terkait THR. “Perusahaan yang lalai membayarkan hak-hak ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda dan bahkan bunga atas keterlambatan gaji,” tegas Nugraha.
2. Kompensasi PHK (Pesangon, UPMK, UPH): Nugraha menyoroti pentingnya pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan masa kerja karyawan. “Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 secara detail mengatur besaran uang pesangon dan UPMK berdasarkan lamanya karyawan bekerja. Selain itu, Uang Penggantian Hak seperti sisa cuti tahunan yang belum diambil dan biaya kepulangan juga wajib dipenuhi,” paparnya.
Dadan juga menyinggung peran Pemerintah Daerah (Pemda) dalam situasi ini. “Meskipun kewajiban pembayaran langsung ada pada perusahaan, Pemda melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki peran krusial dalam pengawasan dan fasilitasi penyelesaian sengketa ini,” jelasnya. “Disnaker berwenang menerima aduan, melakukan mediasi, dan jika terbukti ada pelanggaran, dapat memberikan sanksi administratif kepada perusahaan.”
Selain itu, Dadan menekankan pentingnya bagi para mantan karyawan untuk memanfaatkan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. “Langkah awal yang bisa ditempuh adalah perundingan bipartit dengan perusahaan. Jika tidak mencapai kesepakatan, mediasi tripartit melalui Disnaker dapat menjadi opsi berikutnya. Jika semua upaya mediasi gagal, jalur hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial adalah pilihan terakhir untuk menuntut hak-hak mereka secara konstitusional,” urainya.
Sebagai penutup, Dadan Nugraha menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi yang dialami para pekerja. “Aksi bermalam di depan perusahaan adalah indikasi bahwa upaya penyelesaian secara internal belum membuahkan hasil. Pemerintah daerah dan pihak perusahaan harus segera merespons situasi ini secara serius dan mengedepankan dialog serta pemenuhan hak-hak pekerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” pungkasnya. [Jb]