Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Daerah: Fondasi Hukum, Profesionalisme, dan Pencegahan KKN

Opini92 Dilihat

Oleh: Cacan Cahyadi, S.H — Advokat

1) Fondasi dan Fungsi Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah (PBJP) adalah proses strategis yang menentukan kualitas tata kelola pemerintahan. Ia bukan sekadar urusan administrasi atau proyek fisik, tetapi merupakan instrumen vital dalam pelayanan publik dan pembangunan ekonomi daerah.

Landasan hukumnya bersumber dari Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Selain itu, dasar kewenangan daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta berbagai Permendagri terkait pengelolaan keuangan daerah.

Tujuan utama seluruh regulasi tersebut adalah menjamin agar setiap proses pengadaan berjalan efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Perpres 16/2018. Prinsip-prinsip ini merupakan pilar hukum sekaligus moralitas aparatur dalam mengelola uang rakyat.

2) Peran Bupati dan Wakil Bupati dalam PBJP: Antara Kebijakan dan Integritas

Dalam konteks pemerintahan daerah, Bupati berperan sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD) sekaligus Pengguna Anggaran (PA) tertinggi. Karena itu, Bupati memegang kendali penuh dalam menetapkan arah kebijakan PBJP, termasuk dalam memastikan terciptanya sistem pemerintahan yang bersih dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Peran ini tidak berarti Bupati ikut campur dalam teknis pemilihan penyedia, tetapi bertanggung jawab membangun kultur birokrasi yang berintegritas, profesional, dan transparan. Bupati juga wajib menandatangani Pakta Integritas, menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang memenuhi syarat profesional, serta menginstruksikan seluruh OPD untuk mematuhi prinsip-prinsip PBJP.

Baca Juga:  PC IMM Kab. Garut Mengecam Keras Tindakan Asusila Yang Terjadi di Garut

Sementara Wakil Bupati menjalankan fungsi pendampingan, koordinasi, dan pengawasan lintas perangkat daerah. Dalam praktiknya, Wakil Bupati berperan menjaga agar implementasi kebijakan pengadaan tidak menyimpang dari komitmen awal: mewujudkan sistem pemerintahan daerah yang bersih, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik.

3) Profesionalisme Penyelenggara PBJP: Antara Keahlian dan Etika

Pelaku pengadaan—baik Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, maupun Pokja Pemilihan—memikul tanggung jawab hukum dan moral dalam setiap tahapan pengadaan.

Syarat profesionalitas mereka tidak hanya diukur dari kemampuan teknis, tetapi juga dari integritas dan komitmen etika. Berdasarkan Perpres 16 Tahun 2018, setiap penyelenggara PBJP wajib memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa, disiplin administratif, kemampuan manajerial, serta bebas dari benturan kepentingan.

Etika PBJP sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 Perpres 16/2018 mengharuskan setiap pelaku untuk bekerja secara profesional, tidak saling memengaruhi, tidak menyalahgunakan wewenang, serta menolak segala bentuk gratifikasi, rabat, atau hadiah yang berkaitan dengan proses pengadaan. Profesionalitas dalam PBJP berarti bekerja dengan kejujuran, bukan sekadar kecakapan teknis.

4) Pencegahan KKN: Dari Digitalisasi hingga Pengawasan Sosial

Langkah konkret pencegahan KKN dalam PBJP dapat dilakukan dengan pendekatan sistematis.
Pertama, digitalisasi proses pengadaan melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan e-Katalog harus diterapkan penuh agar meminimalkan kontak langsung yang berpotensi menimbulkan kolusi.

Kedua, transparansi publik harus dijamin dengan membuka seluruh tahapan pengadaan, mulai dari Rencana Umum Pengadaan (RUP), dokumen tender, hingga hasil evaluasi.

Baca Juga:  Secercah Harapan di Helaan Berat Nafas Pers Lokal yang Sekarat

Ketiga, Pakta Integritas wajib ditegakkan secara nyata, bukan formalitas.

Keempat, Inspektorat Daerah (APIP) harus diperkuat untuk menjalankan audit internal dan investigatif terhadap setiap potensi penyimpangan.
Kelima, partisipasi masyarakat dan media harus dilindungi secara hukum sesuai Pasal 41 UU Tipikor, agar kontrol sosial terhadap keuangan daerah tetap hidup dan efektif.

5) Modus dan Pola Penyimpangan dalam PBJP

Dalam praktik di berbagai daerah, penyimpangan dalam pengadaan sering kali terjadi dengan cara yang tampak “legal”, namun substansinya bertentangan dengan hukum dan moralitas publik.

Salah satu modus yang sering ditemukan adalah penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak berdasarkan survei harga riil, sehingga menimbulkan markup anggaran. Ada pula praktik pengaturan pemenang tender melalui penyusunan kualifikasi atau spesifikasi teknis yang sengaja diarahkan kepada penyedia tertentu.

Modus lain yang umum terjadi adalah pecah paket proyek (splitting), yakni memecah satu kegiatan besar menjadi beberapa paket kecil agar dapat dilakukan penunjukan langsung tanpa melalui proses tender. Dalam kasus tertentu, spesifikasi teknis mengunci dibuat sedemikian rupa agar hanya satu produk atau merek yang memenuhi syarat.

Bentuk pelanggaran yang lebih serius adalah persetujuan pekerjaan fiktif atau tidak sesuai kontrak, di mana pejabat menyetujui pembayaran meski volume atau mutu pekerjaan tidak terpenuhi. Sementara dalam hubungan personal, gratifikasi dan komisi terselubung sering diberikan oleh penyedia kepada pejabat pengadaan, baik sebelum maupun sesudah kontrak.

Baca Juga:  Dari Bilik Suara ke Jalanan: "Politik, Rakyat, dan Ketegangan Sosial"

Seluruh praktik tersebut termasuk kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6) Pengawasan Hukum: Membangun Sistem yang Taat dan Tegas

Pengawasan terhadap PBJP wajib dijalankan secara berlapis dan terpadu.
Inspektorat Daerah (APIP) bertugas melakukan review dan audit internal terhadap proses pengadaan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaksanakan audit ketaatan dan audit investigatif atas laporan keuangan daerah. Sementara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap indikasi tindak pidana korupsi dalam PBJP.

Selain itu, sanksi administratif dan disiplin ASN harus ditegakkan secara konsisten, termasuk pemberlakuan daftar hitam (blacklist) terhadap penyedia barang/jasa yang melakukan pelanggaran atau wanprestasi. Pengawasan hukum bukan hanya untuk menindak, tetapi juga membangun sistem pemerintahan yang lebih patuh, transparan, dan beretika.

7). Penutup: Integritas Adalah Benteng Pengadaan

Hukum dan teknologi telah menyediakan perangkat pengawasan yang memadai. Namun tanpa integritas pejabat publik, seluruh sistem akan menjadi formalitas belaka.

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah adalah ujian moral bagi penyelenggara negara—apakah mereka bekerja untuk rakyat atau untuk dirinya sendiri.
Ketika pengadaan dijalankan dengan kejujuran, maka pembangunan tidak hanya berlangsung cepat, tetapi juga membawa keberkahan bagi daerah dan masyarakat yang dilayaninya.

Penulis:
Advokat Cacan Cahyadi, S.H
Advokat dan Konsultan Hukum

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *