KADIN TERPECAH, SEMANGAT PERSATUAN TERLUPA: SAAT “SUMPAH PEMUDA” HANYA TINGGAL UPACARA

Refleksi 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2025

Opini136 Dilihat

Oleh: Galih F. Qurbany, ST., SE,
Wakil Ketua Umum Kadin Kabupaten Garut

Hampir seabad setelah para pemuda bersumpah dalam satu bahasa, satu bangsa, satu tanah air — kita kini hidup dalam era yang jauh lebih modern, tapi jauh lebih rapuh.
Kita bersumpah lagi — tapi bukan untuk bersatu, melainkan untuk berpihak.
Kita berjanji lagi — bukan untuk membangun bangsa, melainkan membangun kubu.
Dan ironinya, yang terpecah bukan para politisi di Senayan, tapi para pengusaha yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.

IMG-20251027-WA0189
IMG-20251022-WA0027
Polish_20251022_100850314
20251021_230301

Ya, Kadin Jawa Barat — rumah besar para pengusaha — kini berubah menjadi rumah retak dua dinding.

Sudah hampir 1,5 tahun Kadin Jawa Barat terombang-ambing tanpa pengurus definitif.
Dua kubu, dua Musprov, dua klaim kebenaran — tapi nol kepastian.
Yang satu merasa sah, yang satu merasa benar, sementara ribuan pengusaha di daerah menjadi korban politik diam Kadin Indonesia.
Sungguh miris — organisasi yang lahir dari Undang-Undang justru dibiarkan hidup tanpa arah.

Kalau boleh jujur, ini bukan lagi krisis organisasi. Ini krisis moralitas kepemimpinan.

Sumpah Pemuda Dilanggar di Meja Rapat

Tahun 1928, para pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah berkumpul di Jakarta.
Mereka tidak punya modal, tidak punya jabatan, tapi punya satu hal: keberanian moral untuk bersatu.

Baca Juga:  PKL Garut: Penataan Harus Berpihak, Bukan Sekadar Gusur

Kini tahun 2025, para pengusaha Jawa Barat — yang katanya pilar ekonomi bangsa — justru berpecah di ruang ber-AC, saling adu legitimasi sambil berbicara tentang “keberpihakan ekonomi rakyat.”
Kita menonton tragedi baru: Sumpah Pengusaha yang Palsu.

Dulu para pemuda bersatu tanpa uang,
kini para pengusaha berpecah karena uang.
Dulu mereka menolak dijajah bangsa lain,
kini kita justru rela dijajah oleh ego sendiri.

Dan yang paling menyedihkan — semua pihak tahu ini salah, tapi diam.
Diam adalah dosa baru yang kita rawat dengan gaya elegan.

Kita Sedang Membunuh Rumah Kita Sendiri

Kadin bukan partai politik. Ia bukan alat kekuasaan.
Ia adalah wadah ekonomi bangsa, payung pengusaha dari konglomerat hingga pengrajin kecil di Garut.
Tapi lihatlah hari ini:
semangat persaudaraan digantikan dengan surat kuasa,
musyawarah digantikan dengan tekanan,
dan kolaborasi digantikan dengan dualisme.

Sementara itu, para pengusaha di daerah menunggu kepastian — bukan dari pasar, tapi dari siapa yang dianggap “sah” mengatasnamakan Kadin Jawa Barat.
Bayangkan, ekonomi lokal tertahan hanya karena ego di tingkat provinsi belum selesai.

Kita kehilangan ruh organisasi.
Kita kehilangan roh perjuangan.
Dan yang lebih tragis, kita kehilangan hati nurani.

Baca Juga:  Gunung Padang: Dari Kontroversi ke Rekonsiliasi Sains

Dunia Usaha Tak Butuh Drama, Tapi Keberanian

Investor tidak akan bertanya: siapa yang menang di Musprov.
Mereka hanya peduli: apakah Jawa Barat stabil atau tidak.
Dan stabilitas itu hancur ketika organisasi pengusaha terbesar di provinsi ini berubah menjadi arena konflik yang tidak kunjung selesai.

Sementara kita sibuk berdebat soal “legalitas”, ribuan UMKM menunggu tangan Kadin yang dulu katanya akan membina mereka.
Tapi siapa yang membina siapa, kalau pengurusnya saja saling menggugat?

Inilah paradoks zaman:

  • Kita punya undang-undang, tapi tidak punya keberanian.
  • Kita punya struktur, tapi kehilangan jiwa.
  • Kita punya forum, tapi kehilangan arah.
    Dan Kadin Indonesia pun memilih sunyi — entah karena lelah, entah karena takut kehilangan pengaruh.

Dari Bandung ke Bogor, dari Indramayu ke Sukabumi: Kita Butuh “Sumpah Kadin Baru”

Jika dulu para pemuda bersumpah:

“Bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan,”

Maka hari ini seharusnya para pengusaha bersumpah:

“Bertanah usaha yang satu, berorganisasi yang satu, dan menjunjung kepentingan bersama di atas ego pribadi.”

Karena sesungguhnya, perpecahan ini bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang berani menahan diri demi menyelamatkan rumah besar bernama Kadin.

Sudah saatnya kita mengadakan Musyawarah baru — bukan Musprov politik, tapi Musyawarah Hati.
Musyawarah untuk mengembalikan marwah organisasi, agar Kadin kembali menjadi mercusuar ekonomi bangsa, bukan arena adu gengsi.

Pesan untuk Kadin Indonesia: Jangan Jadi Penonton di Rumah yang Terbakar

Sudah terlalu lama Anda diam.
Diam bukan netralitas — diam adalah pembiaran.
Dan pembiaran adalah pengkhianatan terhadap amanat undang-undang dan sejarah.

Jika para pemuda 1928 saja berani menantang kolonialisme Belanda,
mengapa Kadin Indonesia takut menantang ego anak-anak organisasinya sendiri?

Tegakkan aturan, pulihkan martabat.
Beranilah menegur, sebelum organisasi ini menjadi bahan tertawaan publik.

Akhirnya, Kita Kembali ke Akar: Satu Rumah, Satu Jiwa

Kita boleh berbeda pilihan, tapi tidak boleh berbeda tujuan.
Kita boleh berdebat, tapi tidak boleh berpecah.
Kadin Jawa Barat terlalu besar untuk dibiarkan karam hanya karena ego segelintir orang.

Mari kita bersumpah kembali— bukan dengan pidato, tapi dengan tindakan:
Sumpah untuk bersatu, sumpah untuk jujur, dan sumpah untuk menolak perpecahan.

Karena jika 1928 melahirkan bangsa, maka 2025 seharusnya melahirkan kebangkitan ekonomi.
Dan sejarah akan mencatat — bukan siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang paling tulus menjaga persatuan.

Kita bukan sedang kalah. Kita hanya sedang diuji: apakah kita benar-benar pengusaha pejuang, atau hanya pebisnis yang takut kehilangan panggung. [JB]

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *