GARUT, JABARBICARA.COM – Raut wajah sedih tampak jelas dari Enggah Yusup Khomis, Kepala Sekolah SMA Yayasan Baitul Hikmah (YBHM) Garut, ketika melihat puluhan siswanya turun ke jalan menuntut keadilan. Mereka berdemo bukan karena urusan politik, melainkan karena tanah sekolah yang mereka cintai diduga diserobot dan dialihkan kepemilikannya, padahal selama ini tanah tersebut adalah tanah wakaf untuk kepentingan pendidikan umat.
“Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1976, tempat generasi demi generasi menimba ilmu. Kami mengajarkan agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan umum. Tapi hari ini saya harus melihat anak-anak kami berdiri di bawah terik matahari membawa spanduk dan berteriak menuntut agar sekolah mereka tidak diambil orang. Itu sangat menyakitkan bagi kami sebagai pendidik,” ujar Enggah dengan suara bergetar, Selasa [28/10/2025].
Menurutnya, SMA YBHM bukan hanya sekadar lembaga pendidikan formal, tetapi simbol perjuangan masyarakat kecil yang sejak awal membangun sekolah dengan gotong royong dan niat tulus untuk mencerdaskan anak bangsa.
“Ini bukan hanya tanah, ini amanah wakaf. Dulu para tokoh masyarakat menyerahkan lahan ini untuk ibadah, untuk mencetak anak-anak saleh dan berilmu. Jika tanah wakaf ini dialihkan atau diambil alih, itu bukan hanya melanggar hukum, tapi juga melukai amanah spiritual para pendiri,” tegasnya.
Aksi para siswa YBHM hari ini menjadi sorotan publik. Mereka membawa poster bertuliskan “Selamatkan Tanah Wakaf Sekolah Kami” dan “Kami Ingin Belajar, Bukan Bertarung dengan Hukum”.
Bagi Enggah, pemandangan itu mencerminkan betapa dalam luka yang dirasakan oleh komunitas sekolah.
“Anak-anak kami seharusnya belajar di kelas, bukan berorasi di halaman. Tapi mereka tahu, ini bukan sekadar urusan orang tua. Ini tentang hak mereka untuk tetap memiliki tempat belajar yang dijaga dari ketidakadilan,” tambahnya.
Enggah berharap pemerintah daerah, Kementerian Agama, dan aparat penegak hukum turun tangan menelusuri dugaan penyerobotan tanah wakaf tersebut secara transparan dan adil.
“Kami tidak ingin konflik. Kami hanya ingin sekolah ini tetap menjadi rumah ilmu dan ibadah seperti yang diamanatkan para pendiri sejak hampir 50 tahun lalu,” ujarnya menutup wawancara dengan mata berkaca-kaca. [JB]







