Sekum PW PII Jabar Tegas: Kasus Keracunan MBG di Lembang Adalah Bukti Kelalaian Sistemik, Bukan Musibah Alamiah

Bandung, Daerah, Opini36 Dilihat

BANDUNG, JABARBICARA.COM – Pimpinan Wilayah (PW) Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi keracunan massal yang menimpa lebih dari 200 siswa dan guru di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, akibat mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), Rabu (29/10/2025).

Insiden tragis ini bukanlah kecelakaan tunggal, melainkan puncak dari kegagalan sistemik dan pengabaian standar yang telah berlangsung lama. Temuan ini mengungkap adanya kejanggalan serius antara mandat regulasi program dan implementasi di lapangan.

IMG-20251027-WA0189
IMG-20251022-WA0027
Polish_20251022_100850314
20251021_230301

Berdasarkan analisis dokumen resmi Keputusan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 244 Tahun 2025 (Juknis MBG) dan Laporan Investigasi Keracunan Makanan di Lembang, PW PII Jawa Barat menemukan beberapa kontradiksi fatal:
1. Kontradiksi Sertifikasi Higiene (SLHS): Juknis MBG secara tegas mewajibkan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai syarat operasional. Namun, laporan investigasi mengungkap fakta mengejutkan bahwa mayoritas SPPG, termasuk di wilayah Kabupaten Bandung Barat, beroperasi tanpa memiliki SLHS. Data nasional bahkan menunjukkan hanya sekitar 690 dari lebih 13.000 SPPG yang telah tersertifikasi.
2. Kontradiksi Keamanan Pangan (Waktu Masak): Juknis MBG sangat menekankan keamanan pangan, termasuk prinsip “zona aman” di mana makanan yang telah dimasak tidak boleh melebihi 4 jam untuk dikonsumsi. Kenyataannya, laporan investigasi mengidentifikasi penyebab keracunan adalah bakteri Salmonella dan Bacillus cereus yang berkembang biak akibat interval waktu yang terlalu lama antara proses memasak dan penyajian, yang di lapangan bisa mencapai 9-11 jam.
3. Kontradiksi Pengawasan (Kegagalan di Zona KLB): Juknis MBG memiliki bab khusus mengenai pemantauan dan sanksi tegas bagi pelanggaran. Namun, tragedi di Lembang terjadi di wilayah yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai zona Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus serupa. Fakta bahwa insiden ini tetap terulang menunjukkan mekanisme pengawasan yang diamanatkan BGN telah gagal total di lapangan.

Baca Juga:  Launching Perdana Makan Bergizi Gratis (MBG) Muhammadiyah Garut

“Ini bukan sekadar kecelakaan, ini adalah kelalaian sistemik yang membahayakan nyawa pelajar,” ujar Atqiya Fadhil Rahman, Sekretaris Umum PW PII Jawa Barat.

Aturan dalam SK 244 sudah jelas menuntut standar keamanan pangan, tapi fakta di lapangan menunjukkan ribuan dapur beroperasi tanpa sertifikasi laik higiene dan mengabaikan batas waktu aman konsumsi. Ini adalah kejanggalan fundamental.

Program MBG, yang bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi generasi penerus, telah ternodai oleh implementasi yang serampangan dan lemahnya pengawasan. Tragedi di Lembang, serta rentetan kasus sebelumnya di Cipongkor, Cihampelas, dan Cisarua, adalah bukti bahwa pengawasan internal dari pemerintah tidak cukup.

Oleh karena itu, PW Pelajar Islam Indonesia Jawa Barat menyatakan sikap:

Baca Juga:  Dayeuhkolot dan Bojongsoang Kembali Banjir, Daddy Rohanady: PR Serius Untuk Semua

1. Menuntut Badan Gizi Nasional (BGN) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat untuk bertanggung jawab penuh atas kelalaian yang terjadi dan segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh SPPG.
2. Mendesak agar program MBG tidak hanya berfokus pada kuantitas dan target distribusi, tetapi harus memprioritaskan keamanan (safety) dan kualitas (quality) makanan yang diterima pelajar.
3. Menyerukan agar program ini dikawal secara ketat oleh publik. Mekanisme pengawasan dan evaluasi harus dibuka dan melibatkan partisipasi aktif dari elemen masyarakat sipil.

“Pelajar adalah penerima manfaat langsung program ini. Kami tidak bisa hanya menjadi objek pasif. Kami menuntut adanya ruang bagi organisasi pelajar, seperti PII, untuk terlibat aktif dalam mekanisme pemantauan dan evaluasi di lapangan. Kepercayaan publik, khususnya orang tua dan siswa, harus dipulihkan dengan transparansi dan akuntabilitas nyata,” tutup Atqiya. [JB]

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *