Paradoks Tanah Priangan: Membedah Akar Kemiskinan Struktural di Lumbung Pangan Garut

Opini150 Dilihat

Oleh: Widiana Safaat
Ketua DPC HKTI Kabupaten Garut, Wakil Ketua Bidang Hilirisasi DPD DEKOPI Jabar, Bidang Kemitraan GEMA PS DPC Kabupaten Garut, dan Anggota TKPSDA WS. Cimanuk Cisanggarung.

Bagian 1: Potret Ironi di Tanah Subur

Sebagai pemerhati dan praktisi pembangunan yang mendedikasikan hidup di sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam, saya seringkali dihadapkan pada sebuah paradoks yang menyesakkan. Di satu sisi, data dan realitas di lapangan menunjukkan betapa subur dan kayanya tanah Priangan ini. Kabupaten Garut adalah pilar ketahanan pangan Jawa Barat, kontributor utama komoditas strategis jagung, kentang, cabe, dan rumah bagi kopi, sayuran lainnya, serta hasil bumi lain yang kualitasnya diakui dunia seperti Teh. Namun di sisi lain, di balik citra lumbung pangan itu, tersembunyi sebuah kenyataan pahit: kemiskinan yang bersifat struktural dan mengakar.

Banner Iklan 4
Banner Iklan
Banner Iklan 1
Banner Iklan 2

Angka memang menunjukkan optimisme. Pemerintah Daerah patut diapresiasi atas keberhasilannya menekan angka kemiskinan kembali ke satu digit, mencapai 9,68% pada tahun 2024. Namun, kita tidak boleh terlena oleh statistik makro. Angka tersebut masih merepresentasikan lebih dari 260 ribu jiwa saudara kita yang hidup di bawah Garis Kemiskinan , sebuah ambang batas yang sangat rendah yaitu sekitar Rp 12.250 per hari. Ini bukan sekadar angka, ini adalah potret kerentanan. Ratusan ribu lainnya hidup sedikit di atas garis itu, setiap saat terancam jatuh kembali ke jurang kemiskinan oleh satu musim kemarau panjang, satu gagal panen, atau satu lonjakan harga pupuk.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa kemiskinan di Garut bukanlah masalah tunggal, melainkan sebuah kondisi yang dilanggengkan oleh sistem yang saling mengunci. Saya melihatnya sebagai tiga lingkaran setan yang harus kita putus secara bersamaan.

Pertama, Perangkap Produktivitas Rendah. Fondasi pembangunan kita, sumber daya manusia (SDM), masih rapuh. Mayoritas angkatan kerja kita, sebanyak 46,73%, adalah lulusan Sekolah Dasar. Ditambah lagi dengan angka stunting yang masih mengkhawatirkan di level 24,1% , kita dihadapkan pada risiko kehilangan potensi satu generasi. Keterbatasan pendidikan dan kesehatan ini menjebak tenaga kerja kita di sektor pertanian primer yang berproduktivitas rendah, yang ironisnya menyumbang 36,32% PDRB daerah. Pendapatan yang rendah dari sektor ini kemudian membatasi kemampuan orang tua untuk berinvestasi pada pendidikan dan gizi anak-anak mereka, dan siklus ini terus berulang.

Baca Juga:  Tiga Tindakan Gubernur Jakarta Dalam Tangani Banjir Jabodetabek

Kedua, Erosi Sumber Daya. Sebagai anggota Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA), saya menyaksikan langsung bagaimana tekanan ekonomi memaksa petani melakukan praktik yang tidak berkelanjutan. Pertanian di lahan miring tanpa konservasi yang memadai mempercepat erosi dan degradasi lahan. Akibatnya, kita semakin rentan terhadap bencana. Data yang menunjukkan 133 desa mengalami longsor dan 24 desa terdampak banjir dalam setahun terakhir adalah alarm keras. Bencana ini merusak lahan dan infrastruktur, menghancurkan modal petani, dan semakin memperdalam kemiskinan, yang pada gilirannya meningkatkan kembali tekanan terhadap lingkungan.

Ketiga, Kesenjangan Spasial. Ada dua Garut yang berbeda: Garut utara dan tengah yang relatif lebih maju, dan Garut selatan yang tertinggal. Keterbatasan infrastruktur jalan di wilayah selatan menyebabkan biaya logistik melambung tinggi. Petani kopi, kelapa, atau nelayan di selatan tidak pernah menikmati harga jual yang layak karena sebagian besar margin keuntungan terkikis oleh panjangnya dan mahalnya rantai distribusi. Akibatnya, wilayah selatan menjadi tidak menarik bagi investasi, dan kesenjangan pembangunan pun semakin melebar.

Inilah potret kondisi kita saat ini. Sebuah kabupaten dengan kekayaan alam luar biasa, namun manusianya masih banyak yang terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang kompleks. Mengandalkan program-program parsial dan bantuan sosial semata tidak akan pernah cukup. Kita memerlukan sebuah terobosan—sebuah cara pandang dan strategi baru yang sistemik—untuk mengubah struktur yang melanggengkan paradoks ini.

Bagian 2: Merancang Ulang Masa Depan Garut yang Regeneratif dan Distributif

Mengakui bahwa masalah kemiskinan di Garut bersifat sistemik menuntut kita untuk merumuskan solusi yang juga sistemik. Kita tidak bisa lagi hanya menambal kebocoran; kita harus merancang ulang mesin pembangunan daerah secara fundamental. Visi *”Garut Unggul, Maju, dan Berkelanjutan”* yang tertuang dalam RPJPD 2025-2045 harus diterjemahkan menjadi aksi konkret yang berani dan inovatif.

Baca Juga:  Telaah Yuridis Pernyataan DPRD Garut Terkait Dugaan Permasalahan PKBM dalam Perspektif Literasi Hukum

Konsep intinya adalah transisi menuju ekonomi yang _regenerative_ dan _distributive_. Regeneratif berarti model pembangunan kita tidak lagi hanya mengeruk sumber daya alam, tetapi secara aktif memulihkan dan memperkaya modal alam dan sosial kita. Distributif berarti desain sistem ekonomi kita sejak awal harus bertujuan untuk menyebarkan nilai dan peluang secara lebih adil, terutama kepada para produsen di tingkat akar rumput. Kerangka Ekonomi Donat (Doughnut Economics) memberikan kompas yang jelas: memenuhi semua kebutuhan dasar masyarakat tanpa melampaui batas daya dukung ekologis planet ini.

Untuk mewujudkan ini, saya melihat sebuah strategi inti berbasis pendekatan spasial yang berdaya ungkit tinggi: pembentukan tiga Ekosistem Ekonomi Spasial Terpadu (ISEE), yang masing-masing dirancang sesuai potensi unik wilayahnya:

ISEE Garut Utara: Menjadi pusat Agro-Industri dan Logistik. Dengan akses strategis ke koridor Bandung Raya, wilayah ini harus menjadi gerbang hilirisasi produk pertanian dari seluruh Garut. Jangan lagi kita mengirim gabah, biji kopi mentah, atau ikan segar. Di sinilah nilai tambah harus diciptakan melalui pengolahan, pengemasan, dan branding, yang sekaligus menyerap tenaga kerja terampil.

ISEE Garut Tengah: Menjadi pusat Pariwisata Berkualitas, Ekonomi Kreatif-Digital, dan Jasa. Wilayah perkotaan dan sekitarnya harus bertransformasi menjadi hub inovasi yang mendukung sektor pariwisata. Ini bukan sekadar menjual keindahan alam, tetapi membangun pengalaman wisata yang terintegrasi dengan produk kreatif lokal, kuliner, dan jasa digital.

ISEE Garut Selatan: Menjadi pusat Agro-Maritim Berkelanjutan dan Ekowisata. Ini adalah intervensi paling krusial untuk memutus rantai ketimpangan. Fokus di sini adalah membangun rantai nilai yang adil untuk komoditas unggulan seperti kopi spesialti dan hasil laut, sambil mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat yang justru menjadikan konservasi alam sebagai daya tarik utamanya.

Untuk menggerakkan ekosistem ini, kita perlu intervensi pada titik-titik ungkit yang paling strategis. Sebagai praktisi di bidang pertanian dan kopi, saya melihat teknologi sebagai salah satu kunci utama. Bayangkan sebuah platform digital bernama “GARUT-CHAIN” berbasis blockchain dan tokenisasi. Melalui platform ini, setiap kilogram kopi dari petani di Pakenjeng atau ikan dari nelayan di Pameungpeuk dapat dilacak asal-usulnya, transaksinya tercatat transparan, dan pembayarannya diterima langsung oleh produsen secara digital. Ini bukan lagi mimpi, ini adalah teknologi yang dapat memotong peran tengkulak dan mengembalikan kedaulatan ekonomi ke tangan petani dan nelayan.

Baca Juga:  Heboh di Media Sosial: Makna di Balik Vox Populi Vox Dei

Teknologi Internet of Things (IoT) dapat kita manfaatkan untuk pertanian cerdas iklim, membantu petani mengelola air dan pupuk secara presisi di tengah ketidakpastian cuaca. Praktik agroforestri di lahan-lahan miring tidak hanya akan mengurangi risiko longsor, tetapi juga membuka pintu bagi pendapatan baru melalui skema perdagangan karbon , di mana petani dibayar untuk jasa lingkungan yang mereka berikan.

Tentu saja, teknologi ini tidak akan berarti tanpa fondasi SDM yang kuat dan infrastruktur yang memadai. Program vokasi yang relevan dengan kebutuhan setiap ISEE dan pemberantasan stunting secara total adalah investasi non-negosiabel. Begitu pula dengan akselerasi pembangunan infrastruktur konektivitas, terutama jalan-jalan usaha tani di wilayah selatan yang menjadi urat nadi perekonomian rakyat.

Ini adalah sebuah visi besar yang menuntut cara kerja baru. Tidak ada lagi ego sektoral. Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Dinas PUPR, Dinas Pariwisata, dan semua pemangku kepentingan harus bekerja dalam satu orkestra yang terpadu. Sektor swasta harus diajak bukan hanya sebagai investor, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun rantai nilai yang adil. Dan yang terpenting, masyarakat, terutama para petani dan kelompok rentan, harus menjadi subjek utama, bukan lagi objek pembangunan.

Jalan di depan tidak mudah, tetapi peta jalannya sudah jelas. Dengan memadukan kearifan lokal, kekayaan sumber daya alam, dan inovasi teknologi dalam sebuah kerangka kerja yang sistemik, kita dapat memutus lingkaran setan kemiskinan dan benar-benar mewujudkan Garut yang Unggul, Maju, dan Berkelanjutan untuk semua. [JB]

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *