Pelayanan Sertifikat Tanah di Garut , Lamban dan Tidak Transparan?

Hukum93 Dilihat

GARUT, JABARBICARA.COM — Warga Kabupaten Garut mengeluhkan lambannya pelayanan pembuatan sertifikat Tanah di Kantor Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Garut. Permasalahannya, sejumlah pemohon sertifikat tanah mengaku telah menunggu berbulan-bulan tanpa kepastian dan kejelasan.

Salah satu pemohon pembuatan Sertifikat Emillia Damayanti Nuraini, salah satu warga Desa Sudalarang, Kecamatan Sukawening Garut, yang mengajukan permohonan sertifikat tanah non-pertanian seluas 232 meter persegi. Berdasarkan Tanda Terima Dokumen Nomor Berkas 57399/2025, berkas permohonan telah diterima sejak 19 Agustus 2025, namun hingga awal November 2025, sertifikat belum juga diterbitkan padahal dokument persyaratan sudah lengkap.

IMG-20251027-WA0189
IMG-20251022-WA0027
Polish_20251022_100850314
20251021_230301

Kuasa pemohon, Ade Burhanudin, menilai keterlambatan ini sebagai bukti buruknya kualitas pelayanan publik di lingkungan BPN Garut.

“Kami sudah empat bulan menunggu, tapi tidak ada progres yang jelas. Komunikasi dengan pihak kantor pun minim. Warga hanya butuh kepastian, kalau ada kendala, sampaikan secara terbuka,” tegas Ade Burhanudin, Selasa (4/11/2025).

Ade menambahkan, pelayanan BPN seharusnya berbasis digital dan transparan. Dengan adanya sistem Sentuh Tanahku dan layanan ATR/BPN Online, masyarakat semestinya bisa memantau langsung status permohonan. Namun, sistem tersebut belum dijalankan dengan baik di tingkat kabupaten, khususnya Garut.

Baca Juga:  Program Indonesia Pintar (PIP) di SDN 2 Dangdeur Banyuresmi diduga Bermasalah, APH diminta turun tangan...!!!!

Proses pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat diatur oleh berbagai regulasi nasional, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) — Pasal 19 ayat (2) huruf (c): “Sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang kuat bagi pemegang hak.”
2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah — yang menegaskan percepatan dan digitalisasi layanan pertanahan.
3. Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pengukuran dan Pemetaan Kadastral — menyebutkan bahwa penyelesaian pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 124 hari kerja (sekitar 4 bulan) apabila berkas lengkap dan tidak ada sengketa.

Namun dalam praktiknya, banyak warga di Garut yang mengalami penundaan lebih lama dari batas waktu tersebut, tanpa penjelasan resmi dari pihak BPN.

Kalau dilihat dari UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, keterlambatan tanpa kepastian seperti ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas pelayanan publik.

Beberapa pasal penting yang mengatur hal ini antara lain: Pasal 4 huruf (c): “Penyelenggaraan pelayanan publik dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesionalitas, partisipatif, kesamaan perlakuan, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.”

Baca Juga:  KHDPK untuk Keadilan Sosial dan Ekologis: Seruan Advokat Dadan Nugraha kepada Bupati Garut

Pasal 21 ayat (1): “Setiap penyelenggara pelayanan publik wajib menetapkan standar pelayanan yang sekurang-kurangnya meliputi prosedur, waktu penyelesaian, biaya, produk pelayanan, sarana dan prasarana, serta kompetensi pelaksana.”

Pasal 54 ayat (1): “Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan atau menimbulkan kerugian.”

Dengan demikian, lambannya pelayanan BPN Garut tanpa pemberitahuan resmi dapat dianggap tidak memenuhi kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 25/2009, khususnya terkait asas kepastian waktu dan keterbukaan informasi publik.

Untuk diketahui, di beberapa daerah lain seperti Kabupaten Bandung, Bogor, dan Tasikmalaya, proses penerbitan sertifikat tanah bisa diselesaikan dalam waktu 3–4 bulan. Hal ini berkat penerapan sistem antrean digital, layanan daring, dan transparansi progres melalui website resmi ATR/BPN.

Sedangkan di Garut, sebagian besar pemohon masih mengandalkan sistem manual dan komunikasi langsung, sehingga menimbulkan antrean panjang dan ketidakpastian waktu penyelesaian.

“Masalahnya ini soal tanggung jawab dan profesionalisme aparatur. Kalau daerah lain bisa cepat, kenapa Garut tidak? Kami harap Menteri ATR/BPN turun tangan ke Garut untuk mendengar aduan masyarakat” lanjut Ade Burhanudin.

Baca Juga:  Audensi DPD IWO Indonesia dengan Diskominfo Garut, Berakhir Ricuh. Ini Masalahnya!

Atas kondisi ini, warga mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap BPN Garut, khususnya dalam aspek ketepatan waktu, keterbukaan proses, dan pelayanan masyarakat.

Selain itu, masyarakat juga berharap agar Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi lapangan sesuai amanat UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang berwenang memeriksa laporan maladministrasi dalam pelayanan publik.

Kasus yang dialami oleh Emillia Damayanti Nuraini bukan hanya persoalan sertifikat yang belum selesai, tetapi juga cerminan buruknya tata kelola pelayanan publik di tingkat daerah, khususnya di Kantor Badan Pertanahan Nasional Garut.

Dengan dasar hukum yang kuat yaitu mulai dari UUPA 1960, PP No. 18 Tahun 2021, hingga UU Pelayanan Publik No. 25 Tahun 2009, masyarakat berhak atas pelayanan yang pasti, cepat, transparan, dan akuntabel.

Apabila BPN Garut tidak segera melakukan perbaikan, bukan tidak mungkin Ombudsman atau Kementerian ATR/BPN akan menjatuhkan evaluasi dan sanksi administratif terhadap instansi yang lalai dalam menjalankan kewajiban pelayanannya.

Sampai berita ini diturunkan, Pihak BPN Garut belum dapat di konfirmasi, memberikan keterangan dan tanggapannya. [JB]

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *