GARUT, JABARBICARA.COM – Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Garut Nomor 8 Tahun 2025 tentang Perubahan APBD menuai kritik tajam dari Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS).
Ketua GIPS, Ade Sudrajat, menilai arah kebijakan keuangan daerah tahun ini tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ia menyebut, banyak angka di dalam dokumen anggaran yang justru menimbulkan tanda tanya, bukan jawaban.
“Pemerintah daerah seharusnya memperkuat transparansi dan efisiensi. Tapi kalau dilihat dari struktur anggarannya, justru makin kabur,” ujar Ade, Minggu (19/10/2025).
Defisit anggaran Garut tahun ini naik cukup tajam. Dari sebelumnya Rp123,8 miliar menjadi Rp165,5 miliar. Seluruh selisih itu ditutup dengan dana sisa tahun lalu, atau yang biasa disebut SiLPA.
Menurut Ade, kondisi ini bukan hal baru, tapi sudah jadi kebiasaan buruk. “Setiap tahun defisit ditutup pakai SiLPA. Padahal itu bukan pendapatan, cuma sisa anggaran yang belum terpakai. Kalau terus seperti ini, fiskal daerah bisa jebol,” katanya.
Ia menyebut pola seperti ini menunjukkan bahwa pendapatan daerah tidak tumbuh sehat. Pemerintah daerah dinilai belum punya langkah konkret untuk memperkuat sumber pendapatan murni dari pajak dan retribusi.
Masalah lain yang disoroti GIPS adalah pergeseran angka dalam pos Pendapatan Asli Daerah (PAD). Data yang ditelaah menunjukkan, pendapatan dari retribusi daerah anjlok ratusan miliar, tapi pada saat yang sama pos “lain-lain PAD yang sah” justru naik tinggi.
“Kalau dilihat angkanya, pergeserannya tidak wajar. Bisa jadi ini dampak dari penyesuaian aturan setelah keluarnya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tapi anehnya, Pemda tidak menjelaskan ke publik,” ujar Ade.
Ia menambahkan, tanpa penjelasan resmi, perubahan itu bisa menimbulkan kebingungan hukum di lapangan, terutama bagi masyarakat dan pelaku usaha yang wajib bayar pajak daerah.
GIPS juga menyoroti pemangkasan besar pada Belanja Tidak Terduga (BTT). Dana cadangan darurat yang semestinya untuk situasi bencana justru dikurangi hingga Rp35 miliar lebih. Kini anggarannya tinggal sekitar Rp45 miliar.
“Garut ini daerah rawan bencana. Kalau dana darurat malah dipotong, siapa yang tanggung kalau ada musibah besar? Ini langkah yang berisiko,” tutur Ade.
Ia menilai kebijakan itu menandakan pemerintah daerah lebih sibuk mengutamakan proyek belanja lain daripada kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Kritik berikutnya datang dari pos Belanja Barang dan Jasa (B/J) yang melonjak tajam hingga Rp168,9 miliar, sementara belanja pegawai justru turun. Menurut GIPS, lonjakan ini patut dicurigai sebagai bentuk “belanja pegawai terselubung”.
“Kadang kegiatan pegawai, honor, atau perjalanan dinas dimasukkan ke belanja barang dan jasa. Kalau begitu, efisiensinya jadi semu. Anggaran terkesan turun, padahal hanya dipindahkan pos,” ungkapnya.
Ia meminta DPRD dan BPK turun langsung memeriksa pola belanja tersebut agar tidak terjadi pemborosan.
Melalui pernyataannya, GIPS mendesak Pemerintah Kabupaten Garut membuka seluruh komponen perubahan APBD kepada publik. Ade menilai audit transparansi wajib dilakukan agar masyarakat tahu ke mana arah ang daerah digunakan.
“Kalau tak dijelaskan, Perda ini hanya jadi alat melegalkan defisit. APBD itu bukan sekadar angka di kertas, tapi cermin keberpihakan pemerintah pada rakyat,” tegas Ade Sudrajat.
Tentang GIPS
Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS) merupakan lembaga independen yang fokus mengawal tata kelola pemerintahan dan transparansi kebijakan publik di Kabupaten Garut.