Catatan Kritis Gaya Dedi Mulyadi, Bukan Kepemimpinan yang Dibutuhkan Rakyat

Opini252 Dilihat

Oleh: Holil Aksan Umarzen
Pengamat Budaya dan Ketua Forkodetada (Forum Koordinasi Desain Penataan Daerah) Jawa Barat

Dalam era keterbukaan informasi dan demokrasi partisipatif, rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya pandai membangun citra, tetapi juga mampu menghadirkan kebijakan yang substantif, sistematis, dan berkelanjutan. Di tengah populernya figur Dedi Mulyadi—yang dikenal luas dengan pendekatan “nyunda” dan citra merakyat—perlu kiranya dilakukan peninjauan kritis terhadap sejumlah pendekatan kepemimpinan beliau, khususnya dalam konteks kebijakan publik dan budaya.

Banner Iklan 4
Banner Iklan
Banner Iklan 1
Banner Iklan 2

1. Kebijakan Spontan yang Minim Kajian dan Tindak Lanjut

Dedi Mulyadi dikenal dengan gaya kepemimpinan spontan dan responsif. Namun, banyak kebijakan yang diambil tampak bersifat reaktif dan tidak berbasis kajian akademik atau kajian dampak jangka panjang. Contohnya, perubahan nama RSUD Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih dinilai sejumlah akademisi hanya sebagai simbolisme tanpa perbaikan sistem layanan publik. Hal ini menunjukkan bagaimana aspek branding lebih dikedepankan ketimbang transformasi substansi.

Baca Juga:  Dedi Mulyadi Larang sekolah jual buku LKS serta meminta Guru Tidak membuat konten di Kelas demi ciptakan lingkungan pendidikan bermutu dan berkualitas di Jawa Barat

2. Modifikasi Budaya tanpa Menyentuh Esensi Sunda

Dedi sering memodifikasi simbol budaya Sunda menjadi bagian dari pencitraannya—baik melalui pakaian, narasi konten, maupun ritual panggung. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah substansi nilai-nilai Sunda seperti kearifan lokal, musyawarah, kesantunan, dan welas asih benar-benar diwujudkan dalam kebijakan publik? Ataukah budaya hanya dijadikan aksesori visual yang menutupi kekosongan kebijakan?

3. Pencampuran Ritual Budaya dan Syariat Agama

Dalam berbagai konten yang ditampilkan ke publik, tampak adanya percampuran antara praktik budaya Sunda dengan simbol-simbol agama, seolah-olah keyakinan leluhur identik dengan syariat. Meski upaya pelestarian budaya patut dihargai, pencampuran ini bisa membingungkan masyarakat awam dan menimbulkan bias keyakinan. Hal ini membuka ruang bagi glorifikasi masa lalu tanpa kejelasan nilai spiritual yang dibangun secara transenden.

4. Pencitraan Berlebihan: Emosi Publik di Atas Substansi Kebijakan

Citra Dedi sebagai “bapak aing” dibangun melalui konten viral di media sosial: memberi makan orang kecil, menyuapi tukang becak, menangis bersama masyarakat desa. Namun sayangnya, konten ini seringkali hanya menggugah emosi tanpa disertai transparansi kebijakan yang sistematis, program yang terukur, atau visi pembangunan daerah yang jelas.

Baca Juga:  Heboh di Media Sosial: Makna di Balik Vox Populi Vox Dei

5. Fokus pada Simbolisme, Bukan Perbaikan Layanan

Penggantian nama rumah sakit, pemugaran gerbang tradisi, atau pemasangan ornamen nyunda memang menarik secara visual, namun tidak menyentuh akar persoalan seperti antrean panjang layanan publik, birokrasi yang lamban, hingga inefisiensi anggaran. Akademisi dari UPI pernah mengkritik bahwa kebijakan seperti ini lebih sibuk mengurus “kulit luar” daripada “isi dalam”.

6. Diskriminasi Kultural Terselubung

Kebijakan yang terlalu menonjolkan budaya Sunda tanpa ruang dialog untuk kebudayaan lain bisa menciptakan eksklusivitas terselubung. Hal ini berisiko menyingkirkan kelompok non-Sunda dari proses pembangunan sosial dan politik daerah. Kepemimpinan inklusif seharusnya merangkul semua identitas dengan proporsional dan adil.

7. Militerisasi Remaja: Disiplin atau Dominasi?

Wacana membangun “barak militer” untuk membina kedisiplinan remaja menuai kritik keras dari para pemikir kebebasan sipil. Rocky Gerung misalnya menyebut pendekatan itu sebagai bentuk kediktatoran budaya baru. Remaja tidak hanya butuh disiplin, tapi juga perlu ruang berpikir kritis, pendidikan moral, dan kesempatan berpartisipasi dalam wacana demokratis.

Baca Juga:  Virall !! Kader PSI Sebut Jokowi Penuhi Syarat Jadi Nabi

8. Kebijakan Pendidikan Tergesa

Kebijakan pembukaan kuota sekolah negeri secara besar-besaran tampak populis, namun menyebabkan dampak serius pada sekolah swasta. Banyak sekolah swasta yang kehilangan siswa hingga mengalami ancaman tutup. Kebijakan yang tidak dikaji secara menyeluruh hanya akan menambah daftar masalah sosial pendidikan.

Rakyat Butuh Pemimpin yang Berpikir Sistemik

Pemimpin ideal bukan hanya piawai membangun narasi emosional, tetapi mampu menyusun dan melaksanakan kebijakan publik berbasis data, berorientasi hasil, inklusif, dan berkelanjutan. Figur seperti Dedi Mulyadi memiliki magnet publik yang kuat, namun magnet itu perlu diarahkan untuk menarik rakyat menuju kemajuan, bukan hanya menghibur mereka di ruang digital.

Kepemimpinan yang dibutuhkan rakyat adalah yang membumi secara budaya, religius secara akhlak, cerdas secara visi, dan kuat dalam sistem. Tanpa itu semua, kita hanya akan terjebak dalam teatrikal kekuasaan yang meriah di luar, tetapi kosong di dalam. [**]

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *