PAPUA, JABARBICARA.COM – KAMI Tidak Butuh Makan Gratis, Kami Butuh Pendidikan!” demikian bunyi tuntutan dalam spanduk yang dibentangkan siswa-siswa di Papua saat menggelar aksi demonstrasi menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 17 Februari 2025. Mereka menuntut agar pemerintah lebih memprioritaskan pendidikan gratis, serta menilai bahwa anggaran besar untuk MBG sebaiknya dialokasikan untuk pendidikan gratis dan peningkatan fasilitas sekolah.
Nahasnya, dalam aksi kebebasan berekspresi tersebut, sebuah video berdurasi 25 detik memperlihatkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) menendang dan menginjak salah satu pelajar di halaman Mapolres Nabire, Papua Tengah. Para pelajar tersebut diamankan Polres Nabire lantaran menolak Makan Bergizi Gratis. Bahkan, keluar pernyataan yang begitu menyedihkan dari pelaku penendangan tersebut, “Kau SMP? Kau datang bawa aspirasi? Kau belajar yang baik, kamu masih kecil ini masih ingusan.”
Padahal, kebebasan berekspresi merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin UUD NRI Tahun 1945. Apalagi, tuntutan dari para pelajar tersebut adalah pendidikan gratis, sebagaimana yang juga eksplisit di dalam Konstitusi Bangsa Indonesia bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya membuka diri mendengarkan tuntutan tersebut, menjadi ajang introspeksi diri bahwa hak pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan belum sepenuhnya diberikan pemerintah. Pendidikan adalah kunci pembuka pintu kemajuan bangsa. Pendidikan menjadi investasi jangka panjang yang dapat mengubah nasib suatu generasi.
Dengan pendidikan, anak-anak Papua diharapkan dapat bersaing di tingkat nasional, bahkan global, membawa perubahan bagi tanah kelahiran mereka.
Namun, berbicara soal pendidikan, terutama di Papua tidak semudah mengucapkannya. Ibarat peribahasa, “sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” artinya di balik tuntutan pendidikan gratis tersebut, tersembunyi permasalahan yang tidak sederhana. Mulai dari permasalahan kesehatan, fasilitas dan penunjang pendidikan yang begitu minim, buruknya tata kelola pemerintah daerah, infrastruktur yang minim, kebocoran anggaran pendidikan, minimnya tenaga pendidik, dan banyak masalah lainnya, yang akhirnya saling berkoherensi menimbulkan masalah lainnya.
Padahal, kebebasan berekspresi merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin UUD NRI Tahun 1945. Apalagi, tuntutan dari para pelajar tersebut adalah pendidikan gratis, sebagaimana yang juga eksplisit di dalam Konstitusi Bangsa Indonesia bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Katakan Cukup pada Tengkes dan Permasalahan Gizi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya membuka diri mendengarkan tuntutan tersebut, menjadi ajang introspeksi diri bahwa hak pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan belum sepenuhnya diberikan pemerintah. Pendidikan adalah kunci pembuka pintu kemajuan bangsa. Pendidikan menjadi investasi jangka panjang yang dapat mengubah nasib suatu generasi.
Dengan pendidikan, anak-anak Papua diharapkan dapat bersaing di tingkat nasional, bahkan global, membawa perubahan bagi tanah kelahiran mereka.
Namun, berbicara soal pendidikan, terutama di Papua tidak semudah mengucapkannya. Ibarat peribahasa, “sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” artinya di balik tuntutan pendidikan gratis tersebut, tersembunyi permasalahan yang tidak sederhana. Mulai dari permasalahan kesehatan, fasilitas dan penunjang pendidikan yang begitu minim, buruknya tata kelola pemerintah daerah, infrastruktur yang minim, kebocoran anggaran pendidikan, minimnya tenaga pendidik, dan banyak masalah lainnya, yang akhirnya saling berkoherensi menimbulkan masalah lainnya.
Di balik euforia MBG, akhirnya kita diingatkan dengan adagium terkenal dari Milton Friedman, “There’s no such thing as a free lunch”. Meskipun slogan ini terkesan sederhana, maknanya sangat dalam. Friedman menegaskan bahwa di balik label ‘gratis,’ selalu ada biaya tersembunyi yang harus ditanggung seseorang atau siapapun, entah secara langsung maupun tidak langsung. Jika kita kaitkan dengan keadaan saat ini, tentu pernyataan tersebut sangatlah tepat. Di balik begitu kencangnya promosi MBG yang dilakukan oleh pemerintah, ada harga yang harus dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bahkan, demi terlaksananya MBG, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang menginstruksikan pemangkasan anggaran di masing-masing kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. Memang benar, MBG merupakan program prioritas nasional yang harus kita dukung. Namun, menjadi pertanyaan serius adalah, apakah semua daerah harus dipukul rata menjadi penerima MBG?
Lalu, bagaimana jika yang mendesak adalah pendidikan gratis seperti yang dituntut para pelajar di Papua? Menjadi pertanyaan kontemplatif bagi pemerintah, apakah pemerintah sudah memiliki perencanaan dan kajian mendalam bahwa MBG yang diberikan sehari sekali bisa memperbaiki kualitas pendidikan para pelajar, terutama di Papua?
Apakah tidak lebih baik anggaran MBG tersebut dialokasikan menjadi tambahan anggaran pendidikan di Papua?
Meski MBG memiliki tujuan baik, berbagai dampak dan potensi biaya tersembunyi layak dipertimbangkan. Rasanya, MBG belum menyentuh akar permasalahan pendidikan yang terjadi di Papua.
Pendidikan gratis yang dituntut masyarakat Papua tidak hanya soal pembebasan biaya sekolah, tetapi juga akses terhadap fasilitas yang layak, infrastruktur pendidikan, tenaga pendidik berkualitas, dan jaminan keberlanjutan pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.