GARUT, JABARBICARA.COM – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada atas Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Garut, Jawa Barat, Dian Hasanudin.
Sanksi itu diumumkan dalam sidang pembacaan putusan atas 10 perkara dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang digelar di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Senin, (14/4/2025).
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada kepada Teradu I Dian Hasanudin selaku ketua merangkap anggota KPU Kabupaten Garut terhitung sejak putusan ini dibacakan,” ucap Ketua Majelis Heddy Lugito.
Dian Hasanudin, selaku Teradu I dalam perkara 278-PKE-DKPP/XI/2024, dianggap telah melanggar asas kemandirian dalam tahapan rekapitulasi hasil perhitungan suara berjenjang Pemilu 2024 di Kabupaten Garut.
Hal tersebut berdampak pada rusaknya kredibilitas penyelenggaraan pemilu.
“Prinsip mandiri merupakan pegangan utama dan paling penting yang harus dipedomani oleh penyelenggara pemilu. Namun teradu I telah melanggar prinsip tersebut, oleh karena itu DKPP berpendapat teradu I layak dijatuhi sanksi lebih berat dari pada Anggota KPU Kabupaten Garut lainnya,” kata Anggota Majelis I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat membacakan pertimbangan putusan.
Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menggelar sidang pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dengan nomor perkara 278-PKE-DKPP/XI/2024.
Sidang itu melibatkan Ketua dan empat anggota KPU Kabupaten Garut.
Sidang tersebut berlangsung di Kantor Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, pada Rabu, 19 Februari 2025. Melansir tribunjabar
Kelima pihak yang diperiksa dalam perkara ini terdiri dari Dian Hasanudin selaku ketua, serta empat anggota KPU Kabupaten Garut yaitu Dedi Rosadi, Yusuf Abdullah, Asyim Burhani, dan Rikeu Rahayu.
Laporan dugaan pelanggaran ini diajukan oleh seseorang bernama Firmansyah.
Dalam aduannya, Firmansyah menuding para teradu telah melakukan manipulasi terhadap berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat Kabupaten Garut pada formulir Model D.Hasil KABKO-DPR.
Ia mengungkapkan bahwa terdapat ketidaksesuaian data antara hasil penghitungan suara Caleg DPR RI di tingkat kecamatan yang diumumkan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pameungpeuk dalam rapat pleno kecamatan, dengan data yang muncul saat pleno di tingkat kabupaten, di mana ia menemukan adanya selisih sebanyak 32 suara.
“Ada 32 suara tidak sah pada pleno tingkat Kecamatan yang menjadi suara sah pada saat pleno tingkat kabupaten.”
“Hal ini tidak hanya terjadi di Kecamatan Pameungpeuk, melainkan juga terjadi di Kecamatan Cilawu,” papar Firmansyah.
Firmansyah menambahkan, perbedaan yang menuai protes dari beberapa saksi partai politik ini tidak diindahkan oleh para teradu.
Para teradu, lanjutnya, justru tetap membawa perolehan suara yang diduga salah tersebut ke pleno tingkat provinsi
“Terjadi interupsi dan perdebatan panjang karena hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kecamatan berbeda dengan yang dibacakan para teradu di pleno tingkat provinsi,”
“Terdeteksi ada empat kecamatan yang mengalami perubahan suara,” ungkap Firmansyah.
Pernyataan tersebut dibantah oleh para teradu. Ketua KPU Kabupaten Garut, Dian Hasanudin, menegaskan bahwa saat pleno di tingkat kabupaten, pihaknya hanya membacakan hasil rekapitulasi penghitungan suara yang sebelumnya telah ditetapkan oleh PPK.
Dian menegaskan bahwa pihaknya tidak mengetahui adanya selisih suara tersebut, sebab rekapitulasi hasil penghitungan di tingkat kecamatan merupakan wewenang PPK yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh masing-masing kecamatan.
“Hasil penghitungan suara tingkat kecamatan bukan ditetapkan, dipimpin, dan ditandatangani oleh teradu, melainkan oleh PPK. Tidak benar jika teradu dianggap mengetahui dan melakukan perubahan suara,” katanya.
Dian juga menjelaskan bahwa dalam proses rekapitulasi tersedia mekanisme pengajuan keberatan dari saksi apabila ditemukan perbedaan hasil suara.
Jika selisih tersebut tidak terselesaikan di tingkat kecamatan, maka persoalan itu bisa dibawa ke pleno rekapitulasi suara di tingkat kabupaten.
Ia menuturkan bahwa perbedaan suara di empat kecamatan baru terungkap setelah proses rapat pleno tingkat kabupaten selesai.
Selama jalannya pleno di tingkat kabupaten, menurut Dian, tidak ada satu pun saksi dari peserta pemilu yang mengajukan keberatan terkait perbedaan suara di empat kecamatan tersebut.
“Teradu hanya mengetahui adanya kesalahan dalam penjumlahan (suara) saja dan tidak mengetahui ada perbedaan dalam setiap rincian raihan suara setiap calon. Tidak ada keberatan dari saksi peserta pemilu ataupun pengajuan formulir kejadian khusus terkait hal ini,” jelas Dian.