Oleh: Dadan Nugraha, S.H
Advokat, Konsultan Hukum, dan Pemerhati Kebijakan Publik
Fenomena menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten Garut belakangan ini kembali menjadi sorotan publik. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Garut menyatakan akan melakukan evaluasi untuk menata ulang keberadaan PKL karena dinilai menyebabkan kemacetan di sejumlah titik.
Namun, penting untuk diingat: PKL bukan sekadar persoalan ketertiban kota, melainkan juga persoalan hak konstitusional, ekonomi rakyat, dan tanggung jawab negara.
PKL Bukan Masalah, Tapi Bagian Solusi Ekonomi
PKL tumbuh bukan tanpa sebab. Minimnya lapangan kerja formal, tingginya kebutuhan ekonomi keluarga, hingga keterbatasan akses modal membuat banyak warga memilih berdagang di ruang publik. Dalam banyak literatur pembangunan, sektor informal seperti PKL terbukti menjadi bantalan sosial-ekonomi di tengah kesenjangan.
Sayangnya, PKL sering distigma sebagai biang kemacetan dan kesemrawutan kota. Pandangan ini terlalu simplistik, sebab faktor lain seperti parkir liar, tata ruang kota yang buruk, dan lemahnya pengendalian lalu lintas juga punya kontribusi besar terhadap kemacetan.
Kewajiban Hukum Pemerintah Daerah
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hak ini diperkuat dengan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menempatkan pemerintah daerah bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga pelindung dan pemberdaya UMKM, termasuk PKL.
Lebih jauh, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11/PUU-V/2007 menegaskan bahwa kebijakan publik harus berpihak kepada kelompok ekonomi lemah (pro poor policy). Artinya, penataan PKL tidak boleh dimaknai sebagai penggusuran semata, tetapi sebagai upaya menghadirkan ruang usaha yang manusiawi dan berkeadilan.
Evaluasi Saja Tidak Cukup
Pernyataan Disperindag Garut soal “evaluasi dan penataan” terdengar normatif. Publik justru menunggu langkah nyata berupa roadmap penataan PKL yang transparan, terukur, dan partisipatif. Tanpa itu, kebijakan akan terjebak pada pola lama: gusur-relokasi-kembali, yang hanya melahirkan konflik sosial.
Garut butuh konsep tata kelola PKL yang inovatif. Misalnya:
- Zonasi usaha berbasis tata ruang yang mengintegrasikan PKL dengan pariwisata dan kuliner lokal.
- Konsep City Walk atau Night Market sebagai ruang usaha sekaligus destinasi wisata.
- Koperasi atau paguyuban PKL untuk memperkuat posisi tawar, akses modal, dan pengelolaan bersama.
Penutup
PKL adalah wajah nyata dari perjuangan rakyat kecil mempertahankan hidup. Menata mereka berarti menata ekonomi rakyat. Pemerintah daerah harus hadir dengan kebijakan yang adil: bukan hanya menjaga ketertiban, tetapi juga menjamin keberlangsungan hidup masyarakat kecil.
Jika penataan PKL hanya dipahami sebatas “mengurangi kemacetan,” maka kita sedang mengabaikan dimensi sosial, ekonomi, dan hukum yang lebih mendasar. Garut membutuhkan kebijakan penataan PKL yang inklusif, partisipatif, dan berorientasi pada keadilan sosial. [JB]